WELCOME TO Hiel'S BLOGGER

Thursday, December 13, 2012

ILMU MUNASABAH

 hy teman,,,
ini ada sedikit informasi tentang ilmu munasabah,,,
so guys,,, happy reading,,,, ^^
ILMU MUNASABAH
  1. I.           Latar Belakang
Kitab suci al-Qur’an merupakan kitab yang berisi berbagai petunjuk dan peraturan yang disyari’atkan dan al-Qur’an memiliki sebab dan hikmah yang bermacam. Dalam ayat-ayat al-Qur’an memiliki maksud-maksud tertentu yang diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan, turunnya ayat juga bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu. Susunan ayat-ayat dan surah-surahnya ditertibkan sesuai dengan yang terdapat dalam lauh al-mahfudh, sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat satu dengan ayat yang lain dan antara surah satu dengan surah yang lain.
Oleh karena itu, timbul cabang ilmu dari ulumul Qur’an yang khusus membahas persesuaian-persesuaian tersebut, yaitu yang disebut ilmu munasabah atau ilmu tanaasubil ayati wassuwari. Orang yang pertama kali menulis cabang ilmu ini adalah Imam Abu Bakar an-Naisaburi (324 H). Kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang kitab “Al-Burhanu fi Munasabati Suwaril Qur’ani” dan diteruskan oleh Burhanuddin al-Buqai yang menulis kitab “Nudzumud Durari fi Tanasubil Aayati Wassuwari” dan as-Suyuthi yang menulis kitab “Asraarut Tanzilli wa Tanaasuqud Durari fi Tanaasubil Aayati Wassuwari” serta M. Shodiq al-Ghimari yang mengarang kitab “Jawahirul Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’an.
A. Pengertian Munasabah
Menurut bahasa, munasabah berarti hubungan atau relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang sebelum atau sesudahnya.
Ilmu munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lainnya.
Karena itu sebagian pengarang menamakan ilmu ini dengan “ilmu tanasubil ayati was suwari”, yang artinya juga sama, yaitu ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lain.Menurut istilah, ilmu munasabah / ilmu tanasubil ayati was suwari ini ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian al-Qur’an yang mulia.
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat / beberapa surat al-Qur’an. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus / antara abstrak dan konkret / antara sebab-akibat atau antara illat dan ma’lunya, ataukah antara rasional dan irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi.
Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan parallel saja. Melainkan yang kontradiksipun termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan sebagainya. Sebab ayat-ayat al-Qur’an itu kadang-kadang merupakan takhsish (pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang abstrak.
Sering pula sebagai keterangan sebab dari suatu akibat seperti kebahagiaan setelah amal sholeh dan seterusnya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu, ilmu munasabah itu merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan al-Qur’an dan menjangkau sinar petunjuknya.
B.  Latar Belakang Ilmu Munasabah
Abu bakar Al-naisaburi yang wafat pada tahun 324 H dikenal dengan orang yang pertama kali mencetuskan ilmu tentang munasabah di baghdad. Perhatiannya terhadap munasabah tampak ketika ia mempertanyakan alasan dan rahasia penempatan surat-surat dan ayat-ayat . Langkah Al-naisabudi yang memiliki perhatian besar pada munasabah ini merupakan upaya yang bernilai langka di masa itu bahkan dikatakan sebuah kejutan bagi kalangan ulama tafsir. Atas usaha dalam bidang ini maka ia dinobatkan sebagai bapak ilmu munasabah.
Dalam perkembangan selanjutnya munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari ulumul qur’an . dalam pembahasan ilmu ini masih dijelaskan secara parsial pada ulama-ulama sebelumnya namun pada ulama-ulama sesudahnya dijelaskan secara spesifik. Kitab Al-burhan fi munasabah tartib qur’an yang dikarang oleh Ahmad Ibnu Ibrahim Al-andalusi (wafat pada tahun 807 H) dipandang sebagai kitab yang secara khusus membahas munasabah. Sedangkan penulis-penulis berikutnya yang antusias dengan masalah ini diantaranya: Burhan AL-din Al-bikai yang menulis kitab nazham Al-durar fitanasub Al-ayah was-suwar.
Selainkedua tokoh diatas yakni Ahmad Ibnu Ibrahim dan Burhan Abdin, penulis-penulis dimasa berikutnya sama-sama membahas munasabah,tetapi pembahasan mereka tidak secara khusus dalam satu kitab mereka. Pembahasan munasabah tersebut hanya ditempatkan dalam satu bab dari karya mereka misalnya Azzar Kashi yang membahas munasabah dalam Al-buraha yang berjudul ma’rifah Al-munasabah Bayan al-ayah,selanjutnya tokoh ulumul qur’an Assuyuti membahas munasabah dalam Al-itqon yang berjudul fi munasabah al-ayat . manna’ Al-qhotton dan shubhi sholeh membahas munasah dalam bahasan sababul nuzul, namu di era modern ini ada juga ulama yang secara khusus menulis munasabah dalam kitabnya yaitu Muhammad Al-khumari dalam kitabnya yang berjudul jawahir Al-bayan fi tanasub suwar Al-qur’an.
Beberapa istilah yang digunakan oleh para ulama untuk munasabah yaitu irthibath yang digunakan oleh Assaid qhuthub, Ithishol dan Ta’lil yang digunakan oleh Rashid rida, tartib yang digunakan oleh Al-alusi dan ta’alluq yang digunakan oleh Al-razi, istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama yaitu hubungan, relevansi dan kaitan.
C. Macam-macam Munasabah
Munasabah / persesuaian / persambungan / kaitan bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain itu bisa bermacam-macam, jika dilihat dari berbagai seginya.
1. Macam-macam sifat munasabah
Jika ditinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu :
  1. Persesuaian yang nyata (dzahirul irtibath) / persesuaian yang tampak jelas yaitu yang bersambungan atau persesuaian antara bagian yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat. Karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali. Sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain, maka deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu itu sebagai penguat, penafsir, penyambung, penjelasan, pengecualian / pembatasan dari ayat yang lain. Sehingga ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surat al-Isra’
“Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha”.
Ayat tersebut menerangkan Isra Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, ayat 2 surat al-Isra yang berbunyi :
“Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan kami jadikan Kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil”.
Ayat tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa as. Persesuaian antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua Nabi/Rasul tersebut.
  1. Persambungan tidak jelas (khafiyyul istibadh) samarnya persesuaian antara pertalian untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat atau surat itu sendiri-sendiri baik karena ayat-ayat yang satu itu diathofkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surat al-Baqarah dengan ayat 190 surat al-Baqarah. Ayat 189 surat al-Baqarah tersebut berbunyi :
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”.
Ayat tersebut menerangkan bulan tsabit/tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji.
Sedangkan ayat 190 surat al-Baqarah berbunyi :
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas”.
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya / hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut yaitu, ayat 189 surat al-Baqarah mengenai soal waktu untuk haji, sedang ayat 190 surat al-Baqarah menerangkan: sebenarnya, waktu itu haji umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.
2. Macam-macam materi munasabah
Ditinjau dari segi materinya, maka munasabah itu ada 2 macam sebagai berikut :
a. Munasabah antar ayat yaitu munasabah / persambungan antara ayat yang satu dengan yang lainnya. Munasabah itu bisa berbentuk persambungan-persambungan sebagai berikut :
1) Diathofkan ayat yang satu kepada ayat yang lain, seperti munasabah antara ayat 103 surat Ali Imran :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”.
Dengan surat Ali Imran ayat 102 :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”.
Faedah dari munasabah dengan athaf ini ialah untuk menjadikan 2 ayat tersebut sebagai dua hal yang sama (an-Nadzraini). Ayat 102 surat Ali Imran menyuruh bertaqwa dan ayat 103 surat Ali Imran menyuruh berpegang teguh pada agama Allah, dua hal yang sama.
2) Tidak diathofkan ayat yang satu kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat 11 surat Ali Imran.
“(keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami”.
Dengan ayat 10 surat Ali Imran
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka”
Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat yang kedua (ayat 11) dengan ayat yang sebelumnya (ayat 10), sehingga ayat 11 surat Ali Imran itu dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10 surat Ali Imran.
3)       Digabungkannya dua hal yang sama, seperti persambungan antara ayat 5 surat al-Anfal
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”.
Dengan ayat 4 surat al-Anfal
“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia”.
Kedua ayat itu sama-sama menerangkan tentang kebenaran, ayat 5 surat al-Anfal itu menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum mukminin.
4) Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi (al-mutashadattu)
Seperti yang dikumpulkan ayat 95 surat al-A’raf
“Kemudian kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: "Sesungguhnya nenek moyang kamipun Telah merasai penderitaan dan kesenangan"
Dengan ayat 94 surat al-A’raf
“Kami tidaklah mengutus seseorang nabipun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri”.
Ayat 94 surat al-A’raf tersebut menerangkan ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tetapi ayat 95 surat al-A’raf menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan.
5) Dipindahkannya satu pembicaraan, ayat 55 surat Shaad :
“Beginilah (keadaan mereka). dan Sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk”
Dialihkan pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan kembali ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 surat Shaad yang membicarakan rezeki dari ahli surga.
“Sesungguhnya Ini adalah benar-benar rezki dari kami yang tiada habis-habisnya”.
b. Munasabah antar surat yaitu munasabah / persambungan antara surat yang satu dengan surat yang lainnya.
Munasabah ini ada beberapa bentuk sebagai berikut :
1) Munasabah antara dua surat dalam soal materinya, yaitu materi surat yang satu sama dengan materi surat yang lain.
Contohnya : seperti surat kedua al-Baqarah sama dengan isi surat yang pertama al-Fatihah, keduanya sama-sama menerangkan 3 hal kandungan al-Qur’an, yaitu masalah aqidah, ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman. Dalam surat al-Fatihah semua itu diterangkan secara ringkas, sedang dalam surat al-Baqarah dijelaskan dan dirinci secara panjang dan bebas.
2) Persesuaian antara permulaan surat dengan penutupan surat sebelumnya. Sebab semua pembukaan surat itu erat sekali kaitannya dengan akhiran dari surat sebelumnya, sekalipun sudah dipisah dengan basmalah.
Contohnya: seperti awalan dari surat al-An’am yang berbunyi sebagai berikut :
“Segala puji bagi Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”.
Awalan surat al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surat al-Maidah yang berbunyi :
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
3) Persesuaian antara pembukaan dan akhiran sesuatu surat sebab, semua ayat dari sesuatu surat dari awal sampai akhir itu selalu bersambungan dan bersesuaian.
Contoh : seperti persesuaian antara awal surat al-Baqarah
“Alif laam miin. Kitab (Al Qur’an) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”
Awal surat al-Baqarah tersebut sesuai dengan akhirnya yang memerintahkan supaya berdo’a agar tidak disiksa Allah, bila lupa atau bersalah.
“Beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
C. Dasar-dasar Pemikiran Adanya Munasabah Diantara Ayat-ayat / Surat-surat al-Qur’an
Asy-Syatibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
Mengenai hubungan antara suatu ayat atau surat dengan ayat atau surat lain (sebelum atau sesudahnya) tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sebab nuzulul ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat dan surat-surat itu dapat pula membantu kita memahami dengan tepat ayat-ayat dan surat-surat yang bersangkutan. Ilmu al-Qur’an mengenai masalah ini disebut :
علم تناسب الأيات والسّور.
Ilmu ini dapat berperan mengganti ilmu asbabul nuzul, apabila kita tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tetapi kita bisa mengetahui adanya relevansi ayat itu dengan yang lainnya. Sehingga di kalangan ulama timbul masalah mana yang didahulukan antara mengetahui sebab turunnya ayat dengan mengetahui hubungan antara ayat itu dengan yang lainnya.
Tentang masalah ilmu munasabah di kalangan ulama’ terjadi perbedaan pendapat, bahwa setiap ayat atau surat selalu ada relevansinya dengan ayat atau surat lain. Ada pula yang menyatakan bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Akan tetapi sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat ada hubungannya satu sama lain. Ada pula yang berpendapat bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tetapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat dengan surat yang lain.
Muhammad ‘Izah Daruzah mengatakan bahwa semula orang menyangka antara satu ayat atau surat dengan ayat atau surat yang lain tidak memiliki hubungan antara keduanya. Tetapi kenyataannya, bahwa sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat itu ada hubungan antara satu dengan yang lain.
Sebagaimana contoh surat al-Fath, ada hubungannya dengan surat sebelumnya (surat al-Qital/Muhammad) dan dengan surat sesudahnya (al-Hujurat). Surat al-Fath diturunkan sesudah Nabi mencapai perdamaian Hudaibiyah dengan musyrikin Makkah dan umat Islam mendapatkan kemenangan setelah didahului dengan peperangan dengan musyrikin Arab, maka jelaslah ada hubungannya dengan surat sebelumnya (al-Qital/Muhammad). Setelah kemenangan di tangan Islam dan keamanan serta ketertiban masyarakat sudah mantap, maka turunlah surat al-Hujurat yang mengatur bagaimana seharusnya sikap umat Islam. Mengenai contoh antara ayat satu dengan ayat yang lain dapat dilihat pada uraian-uraian berikut:
Firman Allah dalam surat al-Ghasyiyah ayat 17-20
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20)
Dalam ayat tersebut kelihatan tidak ada relevansinya dan perpaduan pikiran pada ayat tersebut. Sebab meninggikan langit terpisah dari menciptakan unta. Dan menegakkan gunung terpisah dari meninggikan langit dan juga menghamparkan bumi terputus dari menegakkan gunung. Akan tetapi al-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan 1:45, telah menunjukkan ada munasabah antara ayat-ayat itu. Pada waktu turun al-Qur’an masyarakat badui yang masih primitif, binatang unta adalah sangat vital untuk kehidupan mereka dan unta-unta itu membutuhkan air untuk minum. Oleh sebab itu, mereka sering memandang ke langit untuk mengharapkan hujan turun. Mereka juga memerlukan tempat tinggal untuk berlindung dan tiada lain adalah di gunung-gunung, kemudian mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk kelangsungan hidupnya.
Sebagaimana keterangan di atas bahwasanya mencari munasabah atau relevansi antara satu ayat dengan ayat yang lain tidaklah begitu sulit. Sebab pembicaraan kita sedikit yang tidak bisa dipahami dengan satu ayat saja, sehingga perlu ada ayat-ayat yang mengiringinya untuk menjelaskan maksud ayat yang terdahulu. Berbeda dengan mencari hubungan antara surat satu dengan surat yang lain terlihat adanya kesulitan. Oleh karena itu, hanya sedikit ulama tafsir yang mengungkapkan adanya munasabah atau relevansi antara surat satu dengan surat yang lainnya. Mereka cukup mencari-cari adanya dua lafadz yang serupa atau adanya dua ayat yang sebanding dalam kedua surat yang berurutan letaknya baik di permulaan, di pertengahan maupun di penghabisan surat.
Di bawah ini adalah beberapa contoh surat yang ada munasabah / relevansi.
  1. Permulaan surat al-Baqarah
“Alif laam miin. Kitab (Al Qur’an) Ini tidak ada keraguan padanya”.
Di dalam ayat ini terdapat isyarah kepada lafaz yang ada di dalam surat al-Fatihah ayat ke enam.
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”
Di dalam surat ini seolah-olah ketika mereka mohon petunjuk ke jalan yang lurus yang mereka mohon itu adalah al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah jalan yang lurus dan tidak ada keragu-raguan di dalamnya seperti surat yang pertama.
2. Surat al-Isra’ yang dimulai dengan tasbih ada munasabah atau relevansi dengan surat al-Kahfi yang dimulai dengan tahmid. Sebab tasbih biasanya didahului dengan tahmid.
3. Surat al-Kautsar merupakan imbangan dari surat al-Ma’un. Sebab pada surat al-Ma’un terdapat tanda-tanda atau sifat-sifat orang munafik sebanyak empat, yaitu kikir, tidak sembahyang, melakukan shalat dengan riya’ (show) dan enggan mengeluarkan zakat. Maka di dalam surat al-Kautsar :
“Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak”. (QS. Al-Kautsar: 1)
Sebagai imbangan sifat kikir, dan lafadz فصل (maka shalatlah kamu) sebagai bandingan dengan meninggalkan shalat dan lafadz لربك (untuk keridhaan Allah bukan untuk manusia). Sebagai imbangan dengan sifat riya’, kemudian lafadz وانحر (berkurbanlah) sebagai imbangan sifat ingin memberi zakat dan yang dimaksud dengan وانحر ialah bersedekah dengan daging kurban.
Pencarian-pencarian ini yang dilakukan oleh ulama tafsir tidak sia-sia, sebab tidak sedikit manfaatnya bagi umat Islam yang bermaksud mendalami al-Qur’an. Berkah ketekunan ulama tafsir yang luar biasa itu mereka sendiri puas dan juga memberi kepuasan umat Islam. al-Qur’an mengandung macam hukum dan peraturan dan karena sebab-sebab yang berbeda-beda maka tersusunlah ayat-ayat al-Qur’an dengan sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya dalam tiap-tiap surat. Sehingga apabila kita bisa mengetahui adanya munasabah/relevansi, maka kita tidak perlu mencari sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an satu persatu.
D. Faedah Ilmu Munasabah
Faedah mempelajari ilmu munasabah ini banyak, antara lain sebagai berikut :
1. Mengetahui persambungan hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu dengan yang lainnya. Sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatan. Karena itu, Izzudin Abdul Salam mengatakan, bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang berkaitan betul-betul, baik di awal atau diakhirnya.
2. Dengan ilmu munasabah itu dapat diketahui mutu dan tingkat kebahagiaan bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain. Serta persesuaian ayat atau suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu betul-betul wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad Saw. Karena itu imam Arrazi mengatakan, bahwa kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an itu terletak pada susunan dan persesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling baligh (bersastra) adalah yang sering berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
3. Dengan ilmu munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah diketahui hubungan sesuatu kalimat / sesuatu ayat dengan kalimat / ayat yang lain, sehingga sangat mempermudah pengistimbatan hukum-hukum atau isi kandungannya.



              kunjungi juga ya tentang postingan  Ilmu Munasabah, Soal-soal tentang study Quran, Membiasakan perilaku kerja keras, tekun, taat, dan teliti, Menerapkan Hukum Mad shilah dalam  surat Al-Qari'ah dan Al-Zalzalah.

No comments:

Post a Comment

tinggalkan komentar ^^

Kepemilikan /Kata Ganti ضمير

 Dhomir Kepunyaan ( Dhomir Munfasil )   جَمْعٌ ‏مُثَنَّى ‏ مُفْرَدٌ ضمير هُمْ هُم...