WELCOME TO Hiel'S BLOGGER

Thursday, December 13, 2012

Soal-Soal Study Qur'an

Hy Teman,,, ^^
Terima kasih atas kunjungannya,,, ini ada sedikit soal plus jawaban tentang study qur'an semoga bisa membantu penasaran kalian,,, hehe,,,
liat juga postingan sebelumnya   Ilmu Munasabah, Soal-soal tentang study Quran, Membiasakan perilaku kerja keras, tekun, taat, dan teliti, Menerapkan Hukum Mad shilah dalam  surat Al-Qari'ah dan Al-Zalzalah.
selain baca postingan ini kalian perlu buka buku dan quran lagi ya,,,  karena mungkin postingan ini tidaklah sempurna karena tiada sesuatu yang sempurna selain Allah swt. postingan ini juga hanya secuil dari lautan ilmu quran yang luasnya tak terhitung,,, (maaf sok puitis biar gk ngantuk hehe,,,) oke lgsung capcus wae,,,
HAPPY READING !!!  ^^
Ini soalnya,,,
1.      Jelaskan mekanisme takhsis dan taqyid beserta contohnya. Dan jelaskan perbedaan antara keduanya!
2.      Mafhum di bagi menjadi dua mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Jelaskan masing-masing lima. contoh keputusan hukum yang proses penetapannya merujuk dari keduanya ! sepuluh.
3.      Jelaskan perbedaan ayat muhkamat dan mutashabihat!
4.      Jelaskan perbedaan antara terjamah, tafsir dan ta’wil dan contoh syarat-syarat menjadi mufasir!
5.      Jelaskan kemukjizatan al-quran menurut perspektif modern!
JAABANNYA,,,
1.          Jelaskan mekanisme takhsis dan taqyid beserta contohnya. Dan jelaskan perbedaan antara keduanya!
- Taqyid atau Muqayyad ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat dengan suatu seperti sifat. Contohnya ialah lafadz “raqabah mukminah” (hamba sahaya yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah :
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (An-nisa’:93)
Kata “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini memakai qayid atau ikatan yaitu mukminah. Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda atau diyat, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap ayat yang  datang dalam bentuk muqayyad, maka harus diamalkan berdasarkan qayid yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.
Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk muqayyad, maka  menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
v  Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad.   Maka dalam hal ini  hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:
a.       Ayat mutlaq:
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi...”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
b.   Ayat Muqayyad:
Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (الأنعام:145)
 “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan” (mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.
v  Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.
Contoh:
a.       Ayat mutlaq Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
....فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ....( المائدة:6)
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah...
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.
b.       Ayat Muqayyad Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ  ...(المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku...”
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
v  Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh ;
a.       Mutlaq Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ...(المجادلة:3)
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.
b.       Muqayyad Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan)  yang tidak sengaja, yaitu :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:92)
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman.  Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.
v  Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Contoh:
a.       Mutlaq Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ( المائدة:38)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”
Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.
b.       Muqayyad Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (المائدة:6)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”
Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan sampai siku.
Keduanya mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang muqayyad.
-          Bila ada suatu lafadz khash dalam nash syar’iy maka makna yang khash yang ditunjuk oleh lafadz itu adalah qath’iy (قطعى ) bukan dhonny ( ظنّى) contohnya:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur ‘@Ïts† £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þ’Îû £`ÎgÏB%tnö‘r& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ‘,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ ’Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#u‘r& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB “Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_u‘yŠ 3 ª!$#ur ͕tã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Artinya: “Dan wanita-wanita yang dithalaq suaminya itu hendaklah menunggu iddah mereka selama tiga kali quru’ (haid atau suci). (Al Baqarah : 228).
Lafadz tsalatsah di situ adalah khash dan maknanya qath’iy.
Seringkali lafadz khash itu terdapat secara mutlak tanpa ada batasan/ikatan apapun dan sering pula terdapat dalam bentuk tuntutan perbuatan. Contoh: إتقوالله (bertakwalah kepada Allah). Seringkali terdapat dalam bentuk larangan perbuatan, seperti ولاتجسّسوا (dan janganlah kamu memata-matai). Jadi dalam lafadz khash itu terdapat lafadz mutlak, ikatan/batasan, perintah dan larangan.
Hukum khash secara global ialah apabila terdapat nash syara’ sedang maknanya yang khusus menunjukkan dalalah secara pasti, maka pada hakikatnya lafadz khash itu dibuat untuk itu dan pengertiannya diambil hukum dengan pasti, tidak dengan dugaan.Tidak ada pertentangan antara ulama ushul mengenai ketetapan hukum qoth’iy dari lafadz khash.
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’-ian dilalah-nya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu. Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT yang berbunyi:
ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰣ البقرة196
Mengandung pengertian khash, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah maknanya  adalah qathiyah. Demikian juga kata nisfu pada firman Allah yang berbunyi:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ...
Mengandung arti khas yang kandungannya tidak mungkin berarti selain arti tertentu yang ditunjukanlafazh-nyaitusendiri,yaitu setengah. Kedua contoh di atas, termasuk lafazh-lafazh khash, sehingga kehujjahannya terdapat pada arti yang diperuntukkan baginya yang bersifat qath’iyah, karena tidak ada dalil yang memalingkan dari masalah haqiqi-nya. Selain itu juga lafazh nar dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
يَا نَارُكُوْنِى بَرْدًا وَسَلاَمًا...
Adalah lafazh khash yang sudah dikenal yang berarti api (an-nar) yang sebenarnya, dan mengandaikan bahwa makna yang dimaksud bukanlah makna itu, tanpa adanya dalil, maka yang demikian itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap ke-qath’i-an makna yang termasuk dalam lafazh tersebut.
2.       Mafhum di bagi menjadi dua mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Jelaskan masing-masing lima. contoh keputusan hukum yang proses penetapannya merujuk dari keduanya !
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
  • Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23). Yang mana hukum haram "memukul" merupakan mafhum dari dalil haramnya "membentak".
 4Ó|Ós%ur y7•/u‘ žwr& (#ÿr߉ç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8y‰YÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèd߉tnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia
Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
a)  Fahwal Khitab
yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT yang artinya: jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua. Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
b) Lahnal Khitab
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4’yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ ’Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y‘$tR ( šcöqn=óÁu‹y™ur #ZŽÏèy™ ÇÊÉÈ
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
(Q.S An-Nisa ayat 10)
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
  • Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT:
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah
Mafhum Shifat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah SWT.
㍃̍óstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B
Hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin” (Q.S. An-Nisa ayat 92)
Mafhum ’illat
yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ’illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
Mafhum ’adat
yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah SWT:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ö‘r'Î/ uä!#y‰pkà­ óOèdr߉Î=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ ã
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, (Q.S. An-Nur ayat 4)
Mafhum ghayah
yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa” dan dengan ”hakta”. Seperti firman Allah SWT.
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$# ö
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
(Q.S Al-Maidah ayat 6)
Firman Allah SWT
( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ (
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
(Q.S. Al-Baqarah ayat 222)
Mafhum had
yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT.:
Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – Karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Mafhum Laqaab
yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fa’il, seperti sabda Nabi SAW
3. Jelaskan perbedaan ayat muhkamat dan mutashabihat!
Muhkam dan mutasyabih terjadi banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut :
  • Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya Allah-lah yang mengetahui akan maksudnya.Muhkam adalah ayat yang dapat diketahui secara langsung, sedangkan mutashabih baru dapat diketahui dengan memerlukan penjelasan ayat-ayat lain. Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Seperti halal dan haram, kewajiban dan larangan, janji dan ancaman.
  • Sementara ayat-ayat mutasyabih, mereka mencontohkan dengan nama-nama Allah dan sifat-Nya, seperti:
4 yìÅ™ur çm•‹Å™öä. ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur
“Kursi-Nya meliputi langit dan bumi”.
(al-baqarah:255)
“Yang Maha Pengasih, yang bersemayam diatas‘Arsy”.
(thaha:5)
“(bahteranya nabi Nuh as) berlayar dengan pantauan mata Kami. (seperti itulah musibah yang Kami turunkan) sebagai balasan bagi orang yang ingkar”.
(al-qamar14)“
Sesungguhnya orang-orang yang membai’at-mu ya Rasul, mereka-lah yang berikrar menerima (bahwa Tuhan mereka) adalah Allah. TanganAllahdiatastangan-tanganmereka”.
(Al-fath:10)
“dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah”.
(Al qasas: 88 )
muhkam ialah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa ditakwilkan karena susunan tertibnya tepat, dan tidak musykil, karena pengertiannya masuk akal, sehingga dapat diamalkan karena tidak dinasakh. Sedangkan pengertian mutasyabih ialah lafal-Al-Quran yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau oleh akal manusia karena bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena susunan tertibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan cukup diyakini adanya saja dan tidak perlu amalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimonopoli Allah SWT.
ayat muhkamat adalah yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan; sementara ayat mutasyabihat yang tidak berdiri sendiri dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
4.       Jelaskan perbedaan antara terjamah, tafsir dan ta’wil dan contoh syarat-syarat menjadi mufasir!
Adapun perbedaan tafsir, takwil dan terjemah itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut.
a)       Tafsir.
Menerangkan makna lafazh yang telah diterima selama satu hari, selain itu juga menetapkan apa yang dikehendaki ayat yang dikehendaki Allah SWT. Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan dan menerangkan, Tafsir diambil dari kata Al-Fasr’ yang berarti membuka dan menjelaskan sesuatu yang tertutup. Oleh karena itu dalam bahsa arab kata tafsir berarti membuka secara maknawi dengan menjelaskan arti yang tertangkap dari redaksional yang eksplisit (tersurat).”at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil, pelik.
b)                   Takwil
-                      Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
-                      Mengoleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa menyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah SWT serta menafsirkan batin lafazh.
Arti takwil menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Adapun arti bahasanya menurut Az-Zarqoni adalah sama dengan tafsir. Pengertian takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu.
-
c)  Terjemah
Mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang berasal dari bahasa arab kedalam bahasa non arab.
Arti terjemah menurut bahasa adalah susunan dari suatu bahasa kebahasa atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa lain kesuatu bahasa lain.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan Al-Qur’an adalah seperti dikemukakan oleh “Ash-Shabuni” yakni memindahkan Qur’an kebahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa arab sehingga dia dapat mengerti dengan benar.
Menafsirkan Al-Quran merupakan amanah berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang memiliki otoritas untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu. Dalam bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani pasien jika tidak menguasai ilmu kedokteran dengan baik. Bahkan jika ia nekad membuka praktek dan ternyata pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh melakukan malpraktek sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Quran, syarat yang ketat mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran.
Syarat-syarat seorang dapat menafsirkan quran adalah:
  • Aqidahnya bersih. Bila ada penafsir yang aqidahnya cacat, maka tafsirnya tertolak secara otomatis. Contoh kitab tafsir yang benar-benar bersih secara aqidah adalah Tafsir Ath-Thobari (abad ke-3 H) dan Tafsir Ibnu Katsir.
  • Lepas dari semua pengaruh hawa nafsu. Seorang penafsir quran tidak boleh cenderung kepada manhaj/ golongan/ kelompoknya, melainkan murni menyampaikan tafsir untuk mendapatkan kebenaran.
  • Memiliki ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu-ilmu quran. Dalam hal ini saya ambil contoh -yang salah- dari JIL. JIL menggunakan ayat ke 165 alBaqarah, yang menyampaikan bahwa semua manusia yang melakukan kebaikan akan mendapat pahala. Ayat ini digunakannya untuk menganggap semua agama itu sama. Padahal, asbabun nuzul ayat tersebut adalah ketika para sahabat bertanya pada Rasulullah Saw mengenai nasib keluarga mereka yang telah meninggal sebelum turunnya Rasulullah Muhammad dan setelah naiknya Rasulullah Isa as.
  • Menguasai ilmu tentang bahasa alQuran (rasa dan makna).
  •  Mengetahui semua pendapat dari zaman dahulu sampai zaman si mufassir ini hidup, kecuali pada hal-hal yang sudah pasti. Dan mampu menentukan pendapat mana yang paling mendekati kebenaran.
  • Memiliki kedalaman pemahaman. Bila ada kesalahan dan dikritik oleh ulama lain yang terbukti lebih shahih, maka bersedia disalahkan.
  • Memiliki niat dan akhlaq yang baik
  • Tidak melakukan hal-hal yang tercela sebagai bukti hormatnya terhadap quran.
  • Berhati-hati dalam menyampaikan pendapatnya, yang berkaitan dengan quran. Bila ilmu mereka sudah tidak mampu mencapainya, hanya mengucapkan, "Allahu a'lam."
    5.          Jelaskan kemukjizatan al-quran menurut perspektif modern!
Menanggapi masalah definisi mukjizat yang telah dihadirkan para ulama, penulis lebih cenderung pada makna “bukti”, hal ini didasarkan pada bahwa kata “mukjizat” tidak ditemukan dalam al-quran melainkan kata “ayat”. Bukti-bukti inilah yang luar biasa sehingga manusia khusunya masyarakat Arab ketika itu bertekuk lutut atau paling tidak sebenarnya mereka mengakuinya. Diantara bukti-bukti yang luar biasa tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya.
Diantara nilai-nilai tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya. Saking pelik, unik, rumit dan keluar biasanya tak pelak ia menjadi objek kajian dari berbagai macam sudutnya, yang darinya melahirkan ketakkjuban bagi yang beriman dan cercaan bagi yang ingkar.
Namun demikian, seiring dengan waktu dan kemajuan intelkstualitas manusia yang diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, sedikit demi sedikit nilai-nilai tersebut dapat terkuak dan berpengaruh terhadap kesadaran manusia akan keterbatasan dirinya, sebaliknya mengokohkan posisi Al-Qur`an sebagai kalam Tuhan yang Qudus yang berfungsi sebagai petunjuk dan bukti terhadap kebenaran risalah yang dibawa Muhammad. Serentetan nilai Al-Qur`an yang unik, pelik, rumit sekaligus luar biasa hingga dapat menundukkan manusia dengan segala potensinya itulah yang lazimnya disebut dengan mukjizat.
Ditilik dari kebahasaan, Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar biasa baik yang dihasilkan dari pemilihan kata, kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi terhadap nada dan irama yang sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau efek fonologi terhadap makna yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat makna. Ditambah lagi adanya keseimbangan redaksinya serta keseimbangan antara jumlah bilangan katanya. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya sebagai seambrek simbul yang sangat kominikatif lagi fenomenal.
Tak kalah serunya Al-Qur`an dilihat dari demensi ilmiyah. Bagaimana Al-Qur`an mendiskripsikan tentang reproduksi manusia, hal ihwal proses penciptaan alam beserta frora dan faunanya tentang awan peredaran matahari dan seterusnya yang semua itu dapat dibuktikan keabsahannya melalui kacamata ilmiyah, sehingga menujukkan bahwa Al-Qur`an sejalan dengan rasio dan akal manusia.
Adanya kisah-kisah misterius dalam Al-Qur`an, menempatkannya sebagai ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai mulai hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya. Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut sengaja dihadirkan oleh Tuhan agar manusia mampu menjadikannya sebagai ‘ibrah kehidupan. Ia merupakan sebuah metode yang dipilih Tuhan untuk menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.
Keistimewaan Al-Qur`an yang paling esensi adalah petunjuk hukum secara kooperatif, komprehensif dan holistik baik yang berkenaan masalah akidah, agama, sosial, pilitik dan ekonomi yang secara umum bertolak pada azaz keadilan dan keseimbangan, baik secara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat atau manusia sebagai indifidu, social masyarakat atau dengan Tuhannya. Demikianlah yang dapat penulis paparkan dan akhirnya wallahu ‘alam bish-shawab.
Alhamdulillah selesai juga postingan q ini,,, ingat ya setelah membaca postingan ini perlu membuka buku dan Quran lagi ,,,
                  kunjungi juga ya tentang postingan  Ilmu Munasabah, Soal-soal tentang study Quran, Membiasakan perilaku kerja keras, tekun, taat, dan teliti, Menerapkan Hukum Mad shilah dalam  surat Al-Qari'ah dan Al-Zalzalah..   oke sampai jumpa lagi di postingan berikutnya,,, ^^

No comments:

Post a Comment

tinggalkan komentar ^^

Kepemilikan /Kata Ganti ضمير

 Dhomir Kepunyaan ( Dhomir Munfasil )   جَمْعٌ ‏مُثَنَّى ‏ مُفْرَدٌ ضمير هُمْ هُم...