Filsafat Ilmu
ILMU SEBAGAI PRODUK
BAB I
A. Pendahuluan
Ilmu
sebagai produk berarti ilmu merupakan kumpulan pengetahuan sistematis
yang merupakan produk dari aktivitas penelitian dengan metode ilmiah
sebagai sistem pengetahuan. Ilmu menurut salah satu maknanya adalah
pengetahuan. Pengetahuan itu mengenai sesuatu pokok soal (objek materi)
dan berdasarkan suatu titik pusat minat (objek formal). Objek formal dan
objek materi ini kemudian membentuk sasaran yang sesuai dengan ilmu
yang bersangkutan.
[1]
Sebagai
sistem pengetahuan atau pengetahuan sistematis, ilmu memiliki ciri-
ciri empiris, sistematis, obyektif, analitis, dan verifikatif.
[2]
Ciri empiris mengandaikan pengamatan (observasi) atau percobaan
(eksperimen). Ilmu berbeda dari pengetahuan karena ciri sistematis, dan
berbeda dari filsafat karena ciri empirisnya.
Ciri
sistematis berarti bahwa kumpulan pengetahuan-pengetahuan itu memiliki
hubungan-hubungan ketergantungan dan teratur. Ciri obyektif ilmu berarti
bahwa pengetahuan ilmiah bebas dari prasangka perseorangan (personal
bias) dan pamrih pribadi.
I
lmu arus berisi
data yang menggambarkan secara terus terang gejala-gejala yang
ditelaahnya. Ilmu berciri analitis artinya ilmu melakukan
pemilahan-pemilahan atas obyek materialnya ke dalam bagian-bagian yang
terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari
bagian-bagian tersebut. Ciri verifikatif ilmu berarti bahwa tujuan yang
ingin dicapai ilmu ialah kebenaran ilmiah. Kebenaran ini dapat berupa
kaidah-kaidah atau azas-azas yang universal mengenai objek material yang
bersangkutan. Dengan demikian, manusia dapat membuat ramalan dan
menguasai alam.
[3]
Ilmu
sebagai produk menggambarkan hasil-hasil yang berupa karya ilmiah,
teori, paradigma, teknologi. Sehingga ilmu sebagai produk adalah bebas
nilai menurut sebagian ahli. Adapun menurut sebagian lainnya ilmu
tidaklah bebas dari nilai etik yang menggiringnya menuju produk yang
dapat memberikan kemanfaatan kepada kemanusiaan, bukan malah sebaliknya.
B. Landasan Ilmu
Dalam pembahasan filsafat ilmu kita mengenal dimensi-dimensi filosofis sebagai landasan ilmu :
1.
Ontologi, yang berusaha untuk menjawab pertanyaan apakah obyek ilmu
pengetahuan itu ? Hal ini berarti tiap ilmu harus mempunyai objek
penelaahan yang jelas karena diversivikasi ilmu terjadi atas dasar
spesifikasi objek telaahannya, maka tiap disiplin ilmu mempunyai
landasan ontologi yang berbeda.[4]
Ontologi
membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain
merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis
dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu.
Berdasarkan objek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai
pengetahuan empiris, karena objeknya adalah sesuatu yang berada dalam
jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang
dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan dengan agama atau
bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri hanya kepada
kejadian-kejadian yang bersifat empiris, selalu berorientasi terhadap
dunia empiris.[5]
Landasan ontologi ilmu berhubungan dengan hakikat ilmu pengetahuan, yaitu bahwa ilmu itu adalah pengetahuan yang bersifat rasional, reflektif, dan dapat dibuktikan kebenarannya dalam realitas.[6]
Maka, sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris tidak dapat
diklasifikasikan sebagai suatu ilmu. Lingkup ilmu hanya sebatas
pengalaman manusia saja, karena pada hakikatnya ilmu adalah hasil
kemampuan manusia dalam mencermati gejala-gejala alam yang dikaji secara
ilmiah sehingga secara ontologis, ilmu pengetahuan harus memiliki aspek rasional dan empiris.[7]
Adapun ontologi secara umum membahas tentang yang ada, yaitu bahwa obyek ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang ada dan terbagi menjadi tiga, ada dalam pikiran, ada dalam kemungkinan, dan ada dalam kenyataan. Ada
dalam fikiran seperti angan-angan, ada dalam kemungkinan seperti
fikiran kita yang masih belum teraktualisasikan dalam sebuah perbuatan,
dan ada dalam kenyataan yang bisaabstrak atau konkrit. Abstrak seperti adanya Tuhan, jiwa dan lain sebagainya, dan konkrit seperti logika dan seni menarik kesimpulan.
Dari
titik ini dapat kita amati bahwa ruang lingkup ilmu ditinjau dari
landasan ontologinya ternyata lebih sempit daripada tinjauan ontologi
secara umum karena hanya terfokus kepada aspek-aspek rasional dan
empiris saja. Tentunya hal ini yang kemudian menjadi sebuah kelemahan
filsafat ilmu versi Barat karena memutus hubungan antara alam fisik dan
metafisik. Berbeda dengan filsafat ilmu versi islam yang menjadikan alam
fisika sebagai tanda bagi keberadaan alam metafisika.[8]
2.
Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat
dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain epistemologi
adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang
diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan.
Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu
terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan
mempergunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat
keilmuan lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai
kata benda. Hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berfikir yang
dilakukan menurut syarat keilmuan, yaitu bersifat terbuka dan menjunjung
kebenaran di atas segala-galanya.[9] Secara umum metode ilmiah merupakan proses kegiatan induksi-deduksi-verivikasi.[10]
3. Aksiologi, yang berusaha menjawab pertanyaan untuk apa ilmu itu ?[11] Landasan ini berusaha untuk melihat yang menjadi sumbangan ilmu untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.[12]
Dasar
aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah
memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan
kekuatan-kekuatan alam. Dengan mempelajari atom kita dapat
memanfaatkannya untuk sumber energi bagi keselamatan manusia. Penciptaan
bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga
jika senjata itu dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia.[13]
C. Obyek Ilmu
Objek
adalah sasaran pokok atau tujuan penyelidikan keilmuan baik itu objek
material dan objek forma. Objek material ilmu adalah hal atau bahan yang
menjadi sasaran suatu ilmu pengetahuan, sedangkan objek forma ilmu
adalah sudut pandang pembahasan suatu ilmu pengetahuan.[14]
Objek
material terdiri dari yang kongkrit dan abstrak. Objek kongkrit adalah
objek yang secara fisik dapat terlihat dan terasa oleh indera, adapun
objek abstrak adalah objek yang berupa ide-ide, paham, aliran, sikap dan
sebagainya.[15]
Objek
formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh seorang
peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang
digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu
ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain.[16]
Kedua
Objek ilmu ini memiliki keterkaitan. Misalnya ilmu tafsir dan ilmu
qiraat yang kedua macam ilmu pengetahuan itu mempunyai objek material
yang sama yaitu al-Qur’an, akan tetapi obyek formalnya berbeda. Ilmu
tafsir membahas al-Qur’an dari sudut pembahasan makna yang tersembunyi
dari al-Qur’an sedangkan ilmu qiraat membahas al-Qur’an dari sudut
pembahasan macam dan ragam bacaan dialek al-Qur’an. Oleh karena itu
obyek material ilmu pengetahuan dapat sama sedangkan obyek formalnya
pasti berbeda.
D. Sarana Berfikir Ilmiah
Sarana ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuan berdasarkan metode ilmiah.[17] Sarana ilmiah juga adalah alat bantu dalam proses metode ilmiah.[18] Adapun sarana berfikir ilmiah adalah bahasa, matematika, logika, dan statistika.
1. Bahasa
Bahasa
pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama yakni, pertama, sebagai
sarana komunikasi antar manusia, dan kedua, sebagai sarana budaya yang
mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut.
Bahasa adalah unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di dalam
jaringan kebudayaan. Pada waktu yang sama bahasa merupakan sarana
pengungkapan nilai-nilai budaya, pikiran, dan nilai-nilai kehidupan
kemasyarakatan.
Yang dimaksud dengan bahasa sebagai sarana
berfikir ilmiah disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana
komunikasi ilmiah untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan.[19]
Jika pengetahuan yang berupa rangkaian pemikiran konseptual itu dapat
dipahami dan diaktualisasikan, tentunya implikasinya adalah pesatnya
kemajuan yang akan dicapai oleh manusia.[20]
Bahasa
ilmiah berbeda dengan bahasa umum yang memungkinkan adanya makna ganda
dan adanya tambahan nilai rasa yang bersifat konotasi, refleksi, dan
emosi sedangkan ragam bahasa ilmiah bersifat khusus karena menuntut
ketunggalan makna dan interpretasi.[21]
Perbedaan lainnya adalah bahwa bahasa ilmiah memiliki isi konseptual
yang sewenang-wenang (arbitrer), adapun bahasa umum bersifat kebiasaan
sehari-hari, maka makna tidak perlu didefinisikan.[22]
Sifat-sifat yang diperlukan dalam komunikasi ilmiah adalah pertama bebas dari unsur emotif agar komunikasi ilmiah berjalan dengan baik. Kedua
reproduktif artinya bila si pengirim komunikasi menyampaikan suatu
informasi yang katakanlah x, maka si penerima komunikasi harus menerima
informasi yang berupa x pula. Informasi x yang diterima harus merupakan
reproduksi yang benar-benar sama dari informasi x yang dikirimkan. Hal
ini dimaksudkan untuk mencegah apa yang dinamakan sebagai suatu salah
informasi. Ketiga obyektif dan eksplisit oleh karena itu
istilah-istilah yang digunakan harus didefinisikan untuk menjelaskan apa
yang dimaksudkan oleh istilah tersebut.[23]
Namun
bahasa tidaklah cukup memadai untuk menjadi satu-satunya sarana
berfikir ilmiah, hal ini dikarenakan pereduksian makna yang hendak
dilakukan oleh ilmuan hanya sampai pada batas tertentu, maka diperlukan
sarana berfikir ilmiah lainnya yang berupa matematika, logika, dan
statistika.[24]
2. Matematika dan Logika
Matematika dan logika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif[25]
sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Yang dimaksud
dengan deduktif adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data
empirik diolah lebih lanjut dalam suatu system pernyataan yang runtun.[26]
Matematika adalah pengetahuan sebagai sarana berpikir deduktif yang
dalil-dalilnya tidak perlu dibuktikan kebenarannya melalui penyelidikan
empirik, melainkan melalui penjabaran dalil-dalil yang sudah diperoleh
sebelumnya, dan yang terakhir ini pada gilirannya juga dibuktikan
kebenarannya dari dalil-dalil yang sudah ada sebelumnya, dan begitus
seterusnya. Dalil-dalil matematik dibuktikan kebenarannya berdasarkan
atas dalil-dalil yang lain, dan bukannya berdasarkan atas pengamatan.
Dalil-dalil itu tentunya adalah dalili-dalil yang diterima kebenarannya
tanpa bukti, yaitu aksioma-aksioma atau postulat-postulat.[27]
Matematika
memiliki beberapa sifat yaitu, pertama, Jelas, spesifik dan informatif.
Kedua, tidak menimbulkan konotasi emosional. Dan ketiga, bersifat
kuantitatif.
Meskipun matematika adalah suatu ilmu yang tidak
bersifat empiris, namun dengan caranya sendiri ia terikat dengan tahap
inderawi. Ke non-empirisan matematika tidak bertentangan dengan
kenyataan bahwa ilmu itu berpangkal pada segi-segi empiris tertentu dari
realitas. Biarpun orang Yunani yakin bahwa matematika mereka
betul-betul mempelajari realitas, namun mereka insaf pula bahwa cara
mempelajari realitas itu berlainan dengan cara yang dipakai ilmu
pengetahuan empiris. Dalam perkembangannya, matematika telah melepaskan
diri dari ikatan realitas empiris, namun herannya bahwa matematika dalam
bentuk abstrak masih tetap sangat penting bagi ilmu-ilmu empiris.[28]
Matematika
adalah bentuk logika paling tinggi yang pernah diciptakan oleh
pemikiran manusia. Matematika juga menyediakan bagi ilmu-ilmu lainnya,
sistem logika dan berbagai segi kegiatan keilmuan.[29] Sebagai bahasa, matematika memiliki sifat artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.[30]
Namun menurut KurtFriedrich Gödel walaupun
matematika memiliki bagunan yang kuat namun ia masih memerlukan unsur
lain yaitu logika untuk memperbaiki problem dan kontradiksi yang kadang
terjadi di dalam permasalahan matematika dan tidak dapat dipecahnya oleh
teori matematika sendiri. Teori Gödel ini lebih dikenal dengan teori incompleteness.[31]
Matematika
dan logika ibarat kakak dan adik. Bertrand Russell menyatakan bahwa
perbedaan logika dan matematika adalah bahwa logika adalah anak kecil
dari matematika, sedangkan matematika adalah masa dewasa dari logika.[32]
Dari sini dapat kita nyatakan bahwa hubungan antara matematika dan
logika begitu erat sehingga antara satu dan lainnya seperti kesatuan
yang tak terpisahkan.
3. Statistika
Statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif[33] untuk mencari konsep-konsep umum yang bisa diandalkan.[34]
Yang dimaksud dengan induksi adalah metode yang menyimpulkan
pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan
yang lebih umum.[35]
Statistika ialah pengetahuan sebagai sarana berpikir induktif yang
memiliki sifat dapat digunakan untuk menguji tingkat ketelitian dan
untuk menentukan hubungan kausalitas antar faktor terkait.
Logika
induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa
untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan, dan
kesimpulannya mungkin benar mungkin salah. Penalaran induktif memiliki
beberapa proses yang dapat disusun sebagai berikut :
a. Observasi
dan eksperimen. Langkah pertama adalah mengumpulkan fakta-fakta khusus.
Metode khusus yang digunakan adalah observasi dan eksperimen.
b.
Hipotesis ilmiah. Langkah kedua dalam induksi ialah perumusan hipotesis.
Hipotesis adalah suatu dalil sementara yang diajukan berdasarkan
pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih
lanjut.
c. Verifikasi dan pengukuhan. Langkah ketiga dalam
penalaran induktif adalah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah
sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan
terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain
untuk diambil kesimpulan umum.
d. Teori dan hukum ilmiah. Hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah ialah untuk sampai kepada hukum ilmiah. [36]
Statistika
merupakan ilmu yang mempelajari tentang cara mendapatkan data,
menganalisis dan menyajikan data serta mendapatkan suatu kesimpulan lalu
membuat perkiraan dan menyusun ramalan secara ilmiah.[37] Statistika sangat berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam penelitian.
Namun
bukan berarti cara berfikir induktif yang terdapat dalam statistika
tidak mendapat kritik. Kritik-kritik terhadap logika induktif
berpangkal kepada pandangan kaum induktivis yang menyatakan bahwa ilmu
bertolak dari observasi dan observasi memberikan dasar yang kukuh untuk
membangun pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah
disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui
induksi.[38]
Keterangan-keterangan
tunggal yang dihasilkan oleh observasi nyatanya tidak memiliki
justifikasi untuk dijadikan dasar untuk menjadi sebuah keterangan
universal yang membentuk pengetahuan ilmiah. Hal ini dikarenakan
keterangan-keterangan tunggal tersebut tidak memiliki ukuran yang jelas
seperti berapa kali harus dilakukan observasi atau dalam variasi apa
observasi itu harus dilakukan sehingga dapat menjadi keterangan
universal yang dapat mewakili variabel yang tak terobservasi.[39]
E. Klasifikasi Ilmu
Klasifikasi
ilmu terkait erat dengan apa yang dimaksudkan oleh para peneliti. Ada
beberapa peneliti yang hanya menaruh minat hanya pada penelitian ilmiah
murni dan tidak mempunyai tujuan lain daripada menambah atau mendalami
pengetahuan. Namun ada beberapa peneliti yang mengadakan penelitian
dengan tujuan eksplisit menemukan penemuan-penemuan baru. Dari sini
kemudian muncul klasifikasi ilmu menjadi ilmu-ilmu teoritis dan dan
praktis.[40]
Pembedaan
antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan praktis sudah dikenal sejak
zaman Yunani Kuno. Misalnya filsuf Aristoteles membagi kumpulan
pengetahuan rasional menjadi tiga kelompok: pengetahuan teoretis
(misalnya fisika), pengetahuan praktis (misalnya etika), dan pengetahuan
produktif (misalnya retorika). Pembagian selanjutnya sebagai pelengkap
pembagian menurut ragam ialah pembagian ilmu menurut jenisnya.[41]
Dalam
perkembangan keilmuan dewasa ini, perbedaan tersebut sudah tidak begitu
tajam. Hal ini dikarenakan batas-batas antara ilmu teoritis dan praktis
sudah tidak bisa dibedakan dengan jelas. Ilmu teoritis ternyata juga
memerlukan eksperimen untuk tujuan langsung sehingga ada sisi-sisi
praktis di dalamnya, begitu juga ilmu praktis begitu erat kaitannya
dengan teori.[42]
Walaupun
hubungan antara ilmu teoritis dan praktis begitu kuat, namun pembedaan
terhadap keduanya tidak bisa dihilangkan. Ilmu teoritis atau murni
merupakan dasar dari ilmu praktis atau terapan.[43]
Ilmu
teoritis terdiri dari sebuah sistem pernyataan, dimana beberapa ilmu
teoritis ini disatukan dalam sebuah konsep dan dinyatakan dalam sebuah
teori. Makin tinggi tingkat keumuman suatu konsep maka makin “teoritis”
konsep tersebut. Makin teoritis suatu konsep maka makin jauh pernyataan
yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala-gejala fisik yang tampak
nyata.
Kegunaan praktis dari sebuah konsep yang bersifat teoritis
baru dapat dikembangkan sekiranya konsep yang bersifat mendasar tersebut
diterapkan pada masalah-masalah yang bersifat praktis, sehingga kita
sering mendengar konsep dasar dan konsep terapan yang diwujudkan dalam
bentuk ilmu dasar/murni dan ilmu terapan serta penelitian dasar dan
penelitian terapan.
F. Struktur Ilmu
Struktur ilmu
adalah kesalingketerkaitan antara sekumpulan pengetahuan yang terdiri
dari komponen-komponen agar dapat menjadi dasar teoritis atau memberikan
penjelasan.
Setidaknya pengetahuan ilmiah mencakup lima kelompok unsur :
i. Jenis-jenis sasaran atau obyek.
Obyek terdiri dari obyek material dan obyek formal dikenal dengan istilah obyek sebenarnya (proper obyek).
ii. Bentuk-bentuk pernyataan.
Obyek sebenarnya di atas dituangkan dalam pernyataan-pernyataan yang mempunyai empat bentuk yaitu :
- Deskripsi yaitu dengan menjelaskan bentuk, sususan, peranan, dan hal-hal terperinci dari obyek.
-
Preskrispi dengan memberikan petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan
mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan dalam
hubungannya dengan obyek sederhana itu.
- Eksposisi Pola dengan memaparkan pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses dari obyek yang ditelaah.
-Rekonstruksi
Historis dengan merangkum pernyataan-pernyataan yang berusaha
menggambarkan atau menceritakan dengan penjelasan atau alasan yang
diperlukan peryumbuhan sesuatu hal pada masa lampau yang jauh baik
secara alamiah atau karena campur tangan manusia.
iii. Ragam Proposisi yang terbagi menjadi tiga :
- Asas Ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengandung kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati.
-
Kaidah Ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengungkapkan keajegan atau
hubungan teertib yang dapat diperiksa kebenarannya di antara fenomena
sehingga umumnya berlaku pula untuk berbagai fenomena yang sejenis.
-
Teori Ilmiah adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara
logis untuk member penjelasan mengenai sejumlah fenomena.
iv. Ciri Pokok Ilmu Pengetahuan adalah :
- Sistematisasi yaitu bahwa setiap pengetahuan ilmiah harus mengandung saling pertalian yang sistematik dari fakta-fakta.
-
Keumuman (generality) yaitu menunjuk pada kualitas pengetahuan ilmiah
untuk merangkum fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan
konsep-konsep yang paling umum dalam pembahasan sasarannya.
-
Rasionalitas berarti bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah bersumber
pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika.
-
Verifiabilitas berarti bahwa pengetahuan ilmiah harus dapat diperiksa
kebenarannya, diselidiki kembali, atau diuji ulang oleh setiap ilmuan
lainnya.
- Objektivitas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang
telah diuji secara obyektif oleh para ilmuan akan diterima secara umum
menjadi kesepakatan pendapat rasional.[44]
G. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita menyimpulkan beberapa poin dibawah ini :
1.
Ilmu sebagai produk adalah ilmu sebagai pengetahuan yang sistematis
sebagai hasil dari aktivitas proses ilmiah dengan mempergunakan
metodologi ilmiah sebagai prosedur untuk mendapatkan produk keilmuan
yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Sarana berfikir ilmiah yang
terangkum dalam bahasa, matematika, logika, dan statistika sejatinya
hanya sebuah jalan atau metode untuk mengaktualisasikan ilmu pengetahuan
dalam realita sehingga dapat memberikan sebuah kemanfaatan yang begitu
besar bagi kemanusiaan. Meskipun ada beberapa kritik terhadap penalaran
induktif namun setidaknya ada segi positif yang bisa diambil melalui
generalisasi minimal efesiensi dan efektivitas.
3. Diskursus
pengkotakan antara ilmu murni dan terapan dewasa ini sudah tidak begitu
relevan karena masing-masing antara ilmu dan terapan sebuah mulai
melakukan integrasi sehingga batasan antar ilmu murni dan terapan
menjadi abu-abu.
Sekian. sedikit info untuk Reader.,, kunjungi juga Ilmu Sebagai Produk, Hereditas dan Lingkungan, Karakteristik Perkembangan Fisik Biologis, juga Karakteristik Perkembangan Fisik Biologis dalam kehidupan nyata
Daftar Pustaka
Abdullah, Abdul Rahman Haji. Wacana Falsafah Ilmu Analisis Konsep-Konsep Asas dan Falsafah Pendidikan Negara. Kuala Lumpur : Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd, 2005.
Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.
Asmadi. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011.
Budiharto. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
Chalmers, A.F. Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu ? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu Serta Metodenya. Jakarta : Hasta Mitra, 1983.
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1999.
Julainid (al), Muhammad Sayyid. Falsafah al-Tanwi>r bain al-Mashru>‘ al-Isla>miy wal Mashru>‘ al-Taghri>biy. Kairo : Da>r al-Quba>’ li al-T{aba>‘ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 1999.
Melsen, A.G.M. Val. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Jakarta : Gramedia, 1992.
Parera, J.D. Teori Semantik. Jakarta : Erlangga, 2004.
Peursen, Beerling, Kwee, Mooij var. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2003.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Susano, A. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta : PT. Bumiaksara, 2011.
Ugm, Tim Dosen Filsafat Ilmu. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty Yogjakarta, 2007.
Qans}uwah, S{ala>h. Falsafat al-‘Ilm. Kairo : Maktabah al-Usrah, 2003.
[1] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1999), 125.
[2] Ibid, 127-128.
[3] Ibid, 128.
[4]
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan
Logika Ilmu Pengetahuan ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), 68.
[5] Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu Ugm, Filsafat Ilmu (Yogyakarta : Liberty Yogjakarta, 2007), 90.
[6] Abdul Rahman Haji Abdullah, Wacana Falsafah Ilmu Analisis Konsep-Konsep Asas dan Falsafah Pendidikan Negara ( Kuala Lumpur : Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd, 2005), 19.
[7] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995), 5. Adib, Filsafat Ilmu… , 69-74.
[8] Muhammad Sayyid al-Julainid, Falsafah al-Tanwi>r bain al-Mashru>‘ al-Isla>miy wal Mashru>‘ al-Taghri>biy ( Kairo : Da>r al-Quba>’ li al-T{aba>‘ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 1999), 33-34.
[9] Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 91.
[10] Adib, Filsafat Ilmu…, 69.
[11] Budiharto, Metodologi Penelitian Kesehatan (Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006), 3.
[12] Adib, Filsafat Ilmu…, 69.
[13] Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 91.
[14] Asmadi, Konsep Dasar Keperawatan ( Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005), 92.
[15] A. Susano, Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis Epistemologis, dan Aksiologis ( Jakarta : PT. Bumiaksara, 2011), 78-79.
[16] Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 22.
[17] Ibid, 98.
[18] Jujun S. Suriasumantri dalam Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011), 183.
[19] Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 184.
[20] Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 226.
[21] J.D. Parera, Teori Semantik ( Jakarta : Erlangga, 2004), 187.
[22] Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 100.
[23] Ibid, 101-102.
[24] Parera, Teori Semantik, 187.
[25] Morris Kline, “Matematika” dalam Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 173. Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 107.
[26] Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 153.
[27] Beerling, Kwee, Mooij var Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu ( Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2003), 23-24.
[28] A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita (Jakarta : Gramedia, 1992), 42-44.
[29] Howard F. Fehr, “Komunikasi Pemikiran Keilmuan” dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001), 211.
[30] Jujun S. Suriasumantri dalam Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 188. Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 107.
[31] S{ala>h Qans}uwah, Falsafat al-‘Ilm ( Kairo : Maktabah al-Usrah, 2003), 209.
[32] Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 22. Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 108.
[33] Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 116 Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 108..
[34] Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 20.
[35] Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 152.
[36] Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 116-118.
[37] Ibid, 199.
[38] A.F. Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu ? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu Serta Metodenya ( Jakarta : Hasta Mitra, 1983), 13.
[39] Ibid, 1-20.
[40] Melsen, Ilmu Pengetahuan…, 50-51.
[41] Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, 166.
[42] Melsen, Ilmu Pengetahuan…, 49.
[43] Ibid, 52-54.
[44] Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, 139-150.
No comments:
Post a Comment
tinggalkan komentar ^^