hy teman,,,
ini ada sedikit informasi tentang ilmu munasabah,,,
so guys,,, happy reading,,,, ^^
ILMU MUNASABAH
- I. Latar Belakang
Kitab
suci al-Qur’an merupakan kitab yang berisi berbagai petunjuk dan
peraturan yang disyari’atkan dan al-Qur’an memiliki sebab dan hikmah
yang bermacam. Dalam ayat-ayat al-Qur’an memiliki maksud-maksud tertentu
yang diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan,
turunnya ayat juga bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi pada masa
itu. Susunan ayat-ayat dan surah-surahnya ditertibkan sesuai dengan yang
terdapat dalam
lauh al-mahfudh, sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat satu dengan ayat yang lain dan antara surah satu dengan surah yang lain.
Oleh
karena itu, timbul cabang ilmu dari ulumul Qur’an yang khusus membahas
persesuaian-persesuaian tersebut, yaitu yang disebut ilmu munasabah atau
ilmu
tanaasubil ayati wassuwari. Orang yang pertama kali
menulis cabang ilmu ini adalah Imam Abu Bakar an-Naisaburi (324 H).
Kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang kitab “
Al-Burhanu fi Munasabati Suwaril Qur’ani” dan diteruskan oleh Burhanuddin al-Buqai yang menulis kitab “
Nudzumud Durari fi Tanasubil Aayati Wassuwari” dan as-Suyuthi yang menulis kitab “
Asraarut Tanzilli wa Tanaasuqud Durari fi Tanaasubil Aayati Wassuwari” serta M. Shodiq al-Ghimari yang mengarang kitab “
Jawahirul Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’an.
A. Pengertian Munasabah
Menurut
bahasa, munasabah berarti hubungan atau relevansi, yaitu hubungan
persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang
sebelum atau sesudahnya.
Ilmu munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lainnya.
Karena
itu sebagian pengarang menamakan ilmu ini dengan “ilmu tanasubil ayati
was suwari”, yang artinya juga sama, yaitu ilmu yang menjelaskan
persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang
lain.Menurut istilah, ilmu munasabah / ilmu tanasubil ayati was suwari
ini ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari
bagian-bagian al-Qur’an yang mulia.
Ilmu ini menjelaskan segi-segi
hubungan antara beberapa ayat / beberapa surat al-Qur’an. Apakah
hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus / antara abstrak
dan konkret / antara sebab-akibat atau antara illat dan ma’lunya,
ataukah antara rasional dan irasional, atau bahkan antara dua hal yang
kontradiksi.
Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai
dalam arti yang sejajar dan parallel saja. Melainkan yang kontradiksipun
termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang
kafir dan sebagainya. Sebab ayat-ayat al-Qur’an itu kadang-kadang
merupakan takhsish (pengkhususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan
kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang
abstrak.
Sering pula sebagai keterangan sebab dari suatu akibat
seperti kebahagiaan setelah amal sholeh dan seterusnya. Jika ayat-ayat
itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama
sekali antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik dengan yang
sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya
ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain
seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara
teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang
satu dengan yang lain.
Karena itu, ilmu munasabah itu merupakan
ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia
kebalaghahan al-Qur’an dan menjangkau sinar petunjuknya.
B. Latar Belakang Ilmu Munasabah
Abu
bakar Al-naisaburi yang wafat pada tahun 324 H dikenal dengan orang
yang pertama kali mencetuskan ilmu tentang munasabah di baghdad.
Perhatiannya terhadap munasabah tampak ketika ia mempertanyakan alasan
dan rahasia penempatan surat-surat dan ayat-ayat . Langkah Al-naisabudi
yang memiliki perhatian besar pada munasabah ini merupakan upaya yang
bernilai langka di masa itu bahkan dikatakan sebuah kejutan bagi
kalangan ulama tafsir. Atas usaha dalam bidang ini maka ia dinobatkan
sebagai bapak ilmu munasabah.
Dalam perkembangan selanjutnya
munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari ulumul qur’an . dalam
pembahasan ilmu ini masih dijelaskan secara parsial pada ulama-ulama
sebelumnya namun pada ulama-ulama sesudahnya dijelaskan secara spesifik.
Kitab Al-burhan fi munasabah tartib qur’an yang dikarang oleh Ahmad
Ibnu Ibrahim Al-andalusi (wafat pada tahun 807 H) dipandang sebagai
kitab yang secara khusus membahas munasabah. Sedangkan penulis-penulis
berikutnya yang antusias dengan masalah ini diantaranya: Burhan AL-din
Al-bikai yang menulis kitab nazham Al-durar fitanasub Al-ayah was-suwar.
Selainkedua
tokoh diatas yakni Ahmad Ibnu Ibrahim dan Burhan Abdin, penulis-penulis
dimasa berikutnya sama-sama membahas munasabah,tetapi pembahasan mereka
tidak secara khusus dalam satu kitab mereka. Pembahasan munasabah
tersebut hanya ditempatkan dalam satu bab dari karya mereka misalnya
Azzar Kashi yang membahas munasabah dalam Al-buraha yang berjudul
ma’rifah Al-munasabah Bayan al-ayah,selanjutnya tokoh ulumul qur’an
Assuyuti membahas munasabah dalam Al-itqon yang berjudul fi munasabah
al-ayat . manna’ Al-qhotton dan shubhi sholeh membahas munasah dalam
bahasan sababul nuzul, namu di era modern ini ada juga ulama yang secara
khusus menulis munasabah dalam kitabnya yaitu Muhammad Al-khumari dalam
kitabnya yang berjudul jawahir Al-bayan fi tanasub suwar Al-qur’an.
Beberapa istilah yang digunakan oleh para ulama untuk munasabah yaitu
irthibath yang digunakan oleh Assaid qhuthub, Ithishol dan Ta’lil yang
digunakan oleh Rashid rida, tartib yang digunakan oleh Al-alusi dan
ta’alluq yang digunakan oleh Al-razi, istilah-istilah tersebut memiliki
pengertian yang sama yaitu hubungan, relevansi dan kaitan.
C. Macam-macam Munasabah
Munasabah
/ persesuaian / persambungan / kaitan bagian al-Qur’an yang satu dengan
yang lain itu bisa bermacam-macam, jika dilihat dari berbagai seginya.
1. Macam-macam sifat munasabah
Jika ditinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu :
- Persesuaian
yang nyata (dzahirul irtibath) / persesuaian yang tampak jelas yaitu
yang bersambungan atau persesuaian antara bagian yang satu dengan yang
lain tampak jelas dan kuat. Karena kaitan kalimat yang satu dengan yang
lain erat sekali. Sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang
sempurna, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain, maka deretan
beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat
yang satu itu sebagai penguat, penafsir, penyambung, penjelasan,
pengecualian / pembatasan dari ayat yang lain. Sehingga ayat-ayat
tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, seperti
persambungan antara ayat 1 surat al-Isra’
“Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha”.
Ayat tersebut menerangkan Isra Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, ayat 2 surat al-Isra yang berbunyi :
“Dan kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan kami jadikan Kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil”.
Ayat
tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa as.
Persesuaian antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai
diutusnya kedua Nabi/Rasul tersebut.
- Persambungan tidak jelas
(khafiyyul istibadh) samarnya persesuaian antara pertalian untuk
keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat atau surat itu
sendiri-sendiri baik karena ayat-ayat yang satu itu diathofkan kepada
yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surat al-Baqarah dengan ayat
190 surat al-Baqarah. Ayat 189 surat al-Baqarah tersebut berbunyi :
“Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”.
Ayat tersebut menerangkan bulan tsabit/tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji.
Sedangkan ayat 190 surat al-Baqarah berbunyi :
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas”.
Ayat
tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang
menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak
ada hubungannya / hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal
sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut yaitu, ayat 189
surat al-Baqarah mengenai soal waktu untuk haji, sedang ayat 190 surat
al-Baqarah menerangkan: sebenarnya, waktu itu haji umat Islam dilarang
berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan
musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.
2. Macam-macam materi munasabah
Ditinjau dari segi materinya, maka munasabah itu ada 2 macam sebagai berikut :
a.
Munasabah antar ayat yaitu munasabah / persambungan antara ayat yang
satu dengan yang lainnya. Munasabah itu bisa berbentuk
persambungan-persambungan sebagai berikut :
1) Diathofkan ayat yang satu kepada ayat yang lain, seperti munasabah antara ayat 103 surat Ali Imran :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”.
Dengan surat Ali Imran ayat 102 :
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam”.
Faedah dari munasabah dengan athaf ini ialah
untuk menjadikan 2 ayat tersebut sebagai dua hal yang sama
(an-Nadzraini). Ayat 102 surat Ali Imran menyuruh bertaqwa dan ayat 103
surat Ali Imran menyuruh berpegang teguh pada agama Allah, dua hal yang
sama.
2) Tidak diathofkan ayat yang satu kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat 11 surat Ali Imran.
“(keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami”.
Dengan ayat 10 surat Ali Imran
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun
tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. dan mereka itu adalah
bahan bakar api neraka”
Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang
kuat antara ayat yang kedua (ayat 11) dengan ayat yang sebelumnya (ayat
10), sehingga ayat 11 surat Ali Imran itu dianggap sebagai bagian
kelanjutan dari ayat 10 surat Ali Imran.
3) Digabungkannya dua hal yang sama, seperti persambungan antara ayat 5 surat al-Anfal
“Sebagaimana
Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal
Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak
menyukainya”.
Dengan ayat 4 surat al-Anfal
“Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki
(nikmat) yang mulia”.
Kedua ayat itu sama-sama menerangkan tentang
kebenaran, ayat 5 surat al-Anfal itu menerangkan kebenaran status
mereka sebagai kaum mukminin.
4) Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi (al-mutashadattu)
Seperti yang dikumpulkan ayat 95 surat al-A’raf
“Kemudian
kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta
mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: "Sesungguhnya nenek moyang
kamipun Telah merasai penderitaan dan kesenangan"
Dengan ayat 94 surat al-A’raf
“Kami
tidaklah mengutus seseorang nabipun kepada sesuatu negeri, (lalu
penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan kami timpakan kepada
penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan
merendahkan diri”.
Ayat 94 surat al-A’raf tersebut menerangkan
ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tetapi ayat 95
surat al-A’raf menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan
kesenangan.
5) Dipindahkannya satu pembicaraan, ayat 55 surat Shaad :
“Beginilah (keadaan mereka). dan Sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk”
Dialihkan
pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan
kembali ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 surat
Shaad yang membicarakan rezeki dari ahli surga.
“Sesungguhnya Ini adalah benar-benar rezki dari kami yang tiada habis-habisnya”.
b. Munasabah antar surat yaitu munasabah / persambungan antara surat yang satu dengan surat yang lainnya.
Munasabah ini ada beberapa bentuk sebagai berikut :
1) Munasabah antara dua surat dalam soal materinya, yaitu materi surat yang satu sama dengan materi surat yang lain.
Contohnya
: seperti surat kedua al-Baqarah sama dengan isi surat yang pertama
al-Fatihah, keduanya sama-sama menerangkan 3 hal kandungan al-Qur’an,
yaitu masalah aqidah, ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman.
Dalam surat al-Fatihah semua itu diterangkan secara ringkas, sedang
dalam surat al-Baqarah dijelaskan dan dirinci secara panjang dan bebas.
2)
Persesuaian antara permulaan surat dengan penutupan surat sebelumnya.
Sebab semua pembukaan surat itu erat sekali kaitannya dengan akhiran
dari surat sebelumnya, sekalipun sudah dipisah dengan basmalah.
Contohnya: seperti awalan dari surat al-An’am yang berbunyi sebagai berikut :
“Segala
puji bagi Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan
gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu)
dengan Tuhan mereka”.
Awalan surat al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surat al-Maidah yang berbunyi :
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
3)
Persesuaian antara pembukaan dan akhiran sesuatu surat sebab, semua
ayat dari sesuatu surat dari awal sampai akhir itu selalu bersambungan
dan bersesuaian.
Contoh : seperti persesuaian antara awal surat al-Baqarah
“Alif laam miin. Kitab (Al Qur’an) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”
Awal
surat al-Baqarah tersebut sesuai dengan akhirnya yang memerintahkan
supaya berdo’a agar tidak disiksa Allah, bila lupa atau bersalah.
“Beri
ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong
kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
C. Dasar-dasar Pemikiran Adanya Munasabah Diantara Ayat-ayat / Surat-surat al-Qur’an
Asy-Syatibi
menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah,
namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang
lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan
pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat atau
sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat
yang diturunkan itu.
Mengenai hubungan antara suatu ayat atau
surat dengan ayat atau surat lain (sebelum atau sesudahnya) tidaklah
kalah pentingnya dengan mengetahui sebab nuzulul ayat. Sebab mengetahui
adanya hubungan antara ayat-ayat dan surat-surat itu dapat pula membantu
kita memahami dengan tepat ayat-ayat dan surat-surat yang bersangkutan.
Ilmu al-Qur’an mengenai masalah ini disebut :
علم تناسب الأيات والسّور.
Ilmu
ini dapat berperan mengganti ilmu asbabul nuzul, apabila kita tidak
dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tetapi kita bisa mengetahui
adanya relevansi ayat itu dengan yang lainnya. Sehingga di kalangan
ulama timbul masalah mana yang didahulukan antara mengetahui sebab
turunnya ayat dengan mengetahui hubungan antara ayat itu dengan yang
lainnya.
Tentang masalah ilmu munasabah di kalangan ulama’ terjadi
perbedaan pendapat, bahwa setiap ayat atau surat selalu ada
relevansinya dengan ayat atau surat lain. Ada pula yang menyatakan bahwa
hubungan itu tidak selalu ada. Akan tetapi sebagian besar ayat-ayat dan
surat-surat ada hubungannya satu sama lain. Ada pula yang berpendapat
bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tetapi
sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat dengan surat yang lain.
Muhammad
‘Izah Daruzah mengatakan bahwa semula orang menyangka antara satu ayat
atau surat dengan ayat atau surat yang lain tidak memiliki hubungan
antara keduanya. Tetapi kenyataannya, bahwa sebagian besar ayat-ayat dan
surat-surat itu ada hubungan antara satu dengan yang lain.
Sebagaimana
contoh surat al-Fath, ada hubungannya dengan surat sebelumnya (surat
al-Qital/Muhammad) dan dengan surat sesudahnya (al-Hujurat). Surat
al-Fath diturunkan sesudah Nabi mencapai perdamaian Hudaibiyah dengan
musyrikin Makkah dan umat Islam mendapatkan kemenangan setelah didahului
dengan peperangan dengan musyrikin Arab, maka jelaslah ada hubungannya
dengan surat sebelumnya (al-Qital/Muhammad). Setelah kemenangan di
tangan Islam dan keamanan serta ketertiban masyarakat sudah mantap, maka
turunlah surat al-Hujurat yang mengatur bagaimana seharusnya sikap umat
Islam. Mengenai contoh antara ayat satu dengan ayat yang lain dapat
dilihat pada uraian-uraian berikut:
Firman Allah dalam surat al-Ghasyiyah ayat 17-20
Maka
apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan
langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20)
Dalam
ayat tersebut kelihatan tidak ada relevansinya dan perpaduan pikiran
pada ayat tersebut. Sebab meninggikan langit terpisah dari menciptakan
unta. Dan menegakkan gunung terpisah dari meninggikan langit dan juga
menghamparkan bumi terputus dari menegakkan gunung. Akan tetapi
al-Zarkasyi dalam kitab
al-Burhan 1:45, telah menunjukkan ada
munasabah antara ayat-ayat itu. Pada waktu turun al-Qur’an masyarakat
badui yang masih primitif, binatang unta adalah sangat vital untuk
kehidupan mereka dan unta-unta itu membutuhkan air untuk minum. Oleh
sebab itu, mereka sering memandang ke langit untuk mengharapkan hujan
turun. Mereka juga memerlukan tempat tinggal untuk berlindung dan tiada
lain adalah di gunung-gunung, kemudian mereka selalu berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat yang lain untuk kelangsungan hidupnya.
Sebagaimana
keterangan di atas bahwasanya mencari munasabah atau relevansi antara
satu ayat dengan ayat yang lain tidaklah begitu sulit. Sebab pembicaraan
kita sedikit yang tidak bisa dipahami dengan satu ayat saja, sehingga
perlu ada ayat-ayat yang mengiringinya untuk menjelaskan maksud ayat
yang terdahulu. Berbeda dengan mencari hubungan antara surat satu dengan
surat yang lain terlihat adanya kesulitan. Oleh karena itu, hanya
sedikit ulama tafsir yang mengungkapkan adanya munasabah atau relevansi
antara surat satu dengan surat yang lainnya. Mereka cukup mencari-cari
adanya dua lafadz yang serupa atau adanya dua ayat yang sebanding dalam
kedua surat yang berurutan letaknya baik di permulaan, di pertengahan
maupun di penghabisan surat.
Di bawah ini adalah beberapa contoh surat yang ada munasabah / relevansi.
- Permulaan surat al-Baqarah
“Alif laam miin. Kitab (Al Qur’an) Ini tidak ada keraguan padanya”.
Di dalam ayat ini terdapat isyarah kepada lafaz yang ada di dalam surat al-Fatihah ayat ke enam.
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”
Di
dalam surat ini seolah-olah ketika mereka mohon petunjuk ke jalan yang
lurus yang mereka mohon itu adalah al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah
jalan yang lurus dan tidak ada keragu-raguan di dalamnya seperti surat
yang pertama.
2. Surat al-Isra’ yang dimulai dengan tasbih ada
munasabah atau relevansi dengan surat al-Kahfi yang dimulai dengan
tahmid. Sebab tasbih biasanya didahului dengan tahmid.
3. Surat
al-Kautsar merupakan imbangan dari surat al-Ma’un. Sebab pada surat
al-Ma’un terdapat tanda-tanda atau sifat-sifat orang munafik sebanyak
empat, yaitu kikir, tidak sembahyang, melakukan shalat dengan riya’
(show) dan enggan mengeluarkan zakat. Maka di dalam surat al-Kautsar :
“Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak”. (QS. Al-Kautsar: 1)
Sebagai
imbangan sifat kikir, dan lafadz فصل (maka shalatlah kamu) sebagai
bandingan dengan meninggalkan shalat dan lafadz لربك (untuk keridhaan
Allah bukan untuk manusia). Sebagai imbangan dengan sifat riya’,
kemudian lafadz وانحر (berkurbanlah) sebagai imbangan sifat ingin
memberi zakat dan yang dimaksud dengan وانحر ialah bersedekah dengan
daging kurban.
Pencarian-pencarian ini yang dilakukan oleh ulama
tafsir tidak sia-sia, sebab tidak sedikit manfaatnya bagi umat Islam
yang bermaksud mendalami al-Qur’an. Berkah ketekunan ulama tafsir yang
luar biasa itu mereka sendiri puas dan juga memberi kepuasan umat Islam.
al-Qur’an mengandung macam hukum dan peraturan dan karena sebab-sebab
yang berbeda-beda maka tersusunlah ayat-ayat al-Qur’an dengan
sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya dalam tiap-tiap surat. Sehingga
apabila kita bisa mengetahui adanya munasabah/relevansi, maka kita tidak
perlu mencari sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an satu persatu.
D. Faedah Ilmu Munasabah
Faedah mempelajari ilmu munasabah ini banyak, antara lain sebagai berikut :
1.
Mengetahui persambungan hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antara
kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu dengan
yang lainnya. Sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan
terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan
kemukjizatan. Karena itu, Izzudin Abdul Salam mengatakan, bahwa ilmu
munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat
yang satu dengan kalimat yang lain. Beliau mensyaratkan harus jatuh
pada hal-hal yang berkaitan betul-betul, baik di awal atau diakhirnya.
2.
Dengan ilmu munasabah itu dapat diketahui mutu dan tingkat kebahagiaan
bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang
lain. Serta persesuaian ayat atau suratnya yang satu dengan yang lain,
sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu
betul-betul wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad Saw.
Karena itu imam Arrazi mengatakan, bahwa kebanyakan keindahan-keindahan
al-Qur’an itu terletak pada susunan dan persesuaiannya, sedangkan
susunan kalimat yang paling baligh (bersastra) adalah yang sering
berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
3.
Dengan ilmu munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an. Setelah diketahui hubungan sesuatu kalimat / sesuatu ayat
dengan kalimat / ayat yang lain, sehingga sangat mempermudah
pengistimbatan hukum-hukum atau isi kandungannya.
kunjungi juga ya tentang postingan
Ilmu Munasabah,
Soal-soal tentang study Quran,
Membiasakan perilaku kerja keras, tekun, taat, dan teliti,
Menerapkan Hukum Mad shilah dalam surat Al-Qari'ah dan Al-Zalzalah.