1. Fatwa (Ijma’) dalam kajian
Ushulfiqh.
a.
Beberapa Fatwa tentang merokok sendiri menimbulkan
beberapa fatwa hukum yang di perselisihkan. Bahkan MUI sendiri belum menegaskan
tentang hukumnya, juga seperti dua organisasi terbesar di Indonesia yang masih
bertentangan akan Hukum merokok.
Muhammadiyah lewat Majelis Tarjihnya telah
menetapkan hukum merokok haram, sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan hukum
rokok hanya sebatas makruh. Perbedaan pendapat semacam ini tentunya
merupakan sesuatu yang menarik untuk ditelisik lebih jauh lagi. Terlebih kedua
organiasi ini merupakan organisasi terbesar yang ada di Indonesia dan memiliki
pendukung fanatik sendiri-sendiri, sehingga apapun yang menjadi keputusan pasti
akan dijalankan semuanya.
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki
tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits) ia
merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan
pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau
sependapat. Sedangkan menurut istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad
Umat Nabi Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara
(hukum). Kajian Ilmu fiqh Ijma’ itu dapat terwujud apabila
ada empat unsur:
1. Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan
(ijma’) tidak mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing
mengemukakan pendapat yang ada penyelesaian pandangan.
2. Bila ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap
hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa
memandang negeri, kebangsaan atau kelompok mereka.
3. Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam
suatu hukum tidak dapat dianggap ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat
mayoritas, jika mayoritas setuju, sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti
tetap ada perbedaan pendapat.
4. Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar
menukar pendapat lebih dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan
ditetapkan.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah).
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri,
yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijma’
akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
a)
Kehujjahan
ijma’ shari
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i,
wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada
suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang,
dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Dalil-dalil yang dikeluarkan
oleh jumhur
Firman Allah SWT. dalam surat Annisa’ ayat 115.
Artinya : Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Kehujjahan dalil dari ayat di
atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya
orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka Jahanam
dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan
yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram
diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu’min adalah hak dan
wajib diikuti.
b)
Kehujjahan
ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama.
Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak
mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam
Syafi’I yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja
menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak
melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya
sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan
apakah hal itu qath’I atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan
adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’
ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa
ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’I seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka
adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya
terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila
memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang
kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai
hujjah yang qat’I karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak
bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.
Dari beberapa keterangan di atas tentang Ijma’ maka Fatwa hukum merokok
belum ada kesepakatan ahli ijtihad karena di lihat dari segi Ijma’ menurut
istilah saja sudah tidak memenuhi kriteria ijma. Yaitu ”Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi
Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum)”
b.
Dalam
hal ini perbedaan pendapat para ulama yang berbeda-beda akan pendapat bukan di
maksudkan untuk ketidaksepakatan tetapi karena memang mempunyai arah berfikir yang berbeda-beda.
Perbedaan pendapat dalam masalah memang tidak bisa dihindari bagi
orang-orang yang punya ilmu dan termasuk perbedaan pendapat yang dimaklumi.
Karena setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat ”كل رأس رأي
” selama itu tidak
menyalahi aturan yang ditetapkan. Golongan yang benar mendapat dua
pahala, pahala ijtihad dan pahala dari kebenaran ijtihadnya. Golongan yang
salah mendapat satu pahala, yaitu pahala ijtihad.
Terkait bagi orang yang acuh tak acuh dan tidak mau menau maka haram
hukumnya jika Ijma’ sudah di sepakati. Seperti keterangan sebelumnya Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara qath’i,
wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada
suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang,
dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi. Dalil-dalil yang dikeluarkan
oleh jumhur yang di di kutip dari Firman Allah SWT. dalam surat Annisa’
ayat 115.
Artinya : Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
2.
a.
Para fuqaha madzhab empat ( Hanafi,
Maliki, Syafii, Hambali ) sepakat bahwa kaidah fiqih dapat dijadikan sebagai
hujjah (dalil) sumber hukum Islam dan dapat diaplikasikan terhadap
masalah-masalah kontemporer.
Para ulama sepakat bahwa, Sumber Hukum Islam ada tiga, yaitu;
al Quran, Sunnah, dan al Rayu ( akal ). Landasannya adalah :
1.) Al Quran surat al Nisa (4) : 59 yang artinya:
”Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah ( al Quran ) dan Rasul ( Sunnah )”.
Perintah mentaati
Allah berarti perintah menjalankan hukum yang terdapat dalam al-Quran. Perintah
mentaati Rasul berarti perintah mengamalkan apa yang disampaikan Rasul dalam
Sunnahnya. Perintah mentaati ulil amri berarti perintah mengamalkan hukum yang
ditemukan berdasarkan ijma.
Perintah
mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan hukumnya kepada Allah dan Rasul
berarti perintah mengamalkan hokum yang ditemukan melalui qiyas. Ijma dan qiyas
merupakan hasil dari al Rayu ( hasil ijtihad ).
2.) Sunnah, yaitu kisah pembicaraan Nabi dengan Muaz bin
Jabal sewaktu ia diutus oleh Nabi sebagai qadli ( hakim ) ke Yaman.
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika
mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan
permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi
berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum
dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah
Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam
ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi
Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai
Rasulullah Saw”
Ra’yu sendiri Dilihat dari
segi ada tidaknya dasar rujukan ra`yu itu kepada nash al Qur`an atau Sunnah :
a. Ra`yu yang merujuk pada nash Qur`an dan
Sunnah.
b. Ra`yu yang tidak merujuk pada nash Qur`an
dan Sunnah
Dan Ra’yu
bermacam-macam ke empat madzhab mempunyai pendapat masing-masing metode
istinbath :
1. Istinbath
Mazhab Imam Abu Hanifah
Mazhab abu Hanifah adalah
gambaran yang hidup dan jelas bagi relevansi Hukum Islam dengan tuntutan
masyarakat, beliau mendasarkan mazhabnya pada :
a. Al-Qur’an
Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir zaman.
b. Hadits:
Hadits merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat umum.
c. Aqwalus
shahabah (Ucapan Para Sahabat): ucapan para sahbat menurut Imam hanafi itu
sangat penting karena menurut beliau para sahabat meupakan pembawa ajaran rasul
setelah generasinya.
d. Qiyas:
beliau akan menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam Nash Al-Qur’an,
Hadits, maupun Aqwalus shahabah.
e. Istihsan:
merupakan kelanjutan dari Qiyas. Epnggunaan Ar-Ra’yu lebih menonjol
lagi,istihsan menurut bahasa adalah “menganggap lebih baik”, menurut
ulama Ushul Fiqh Istihsan adalah meninggalkan ketentuan Qiyas yang jelas
Illatnya untuk mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.
f. Urf,
beliaua mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dalam kebutuhan
srta memeperhatikan muamalh manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi
mereka. Beliau menggunakan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an
,As-Sunnah dan Ijma’ atau Qiyas ), beliau akan menggunakan Istihsan, jika tidak
bisa digunakan dengan istihsan maka beliau kembalikan kepada Urf manusia
2.
Istinbath Mazhab
Imam Malik
Mazhab Imam Malik adalah
sebagai berikut:
a.
Al-qur’an: Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama
dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan
petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada
Al-Qur’an.
b.
Sunnah rasul yang beliau pandang sah.
c.
Ijma’ para Ulama Madinah, tetapi beliau kadang-kadang
menolak hadits apabila nyata-nyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para
ulama madinah.
d.
Qiyas : Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara
etimologi kata itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan
sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara
keduanya.
e.
Mashalihul Mursalah (Istislah): Maslahah mursalah
menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah.
Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab sholaha- yasluhu
menjadi sholhan atau mashlahatan yang berarti sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja
yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: arsala- yursilu-
irsalan- mursalan yang berarti diutus, dikirim atau dipakai
(dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang
berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu
hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik
(manfaat).
3.
Istinbath Mazhab
Imam Syafi’I
Mazhab Imam adalah sebagai
berikut:
a. Al-qur’an:
Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir zaman.
b. Hadits;
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan
Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an
c. Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh
persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum
dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid
d. Qiyas
e. Istishab
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan
sesuatu.
4.
Mazhab Imam Ibnu
Hanbal
Mazhab Imam Ibnu Hanbal adalah sebagai berikut:
a. Al-qur’an
dan Hadits:
yakni beliau jika telah mnemukan nahs dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits maka
beliau tidak memperhatikan dalil-dalil yang lain dan juga kepada pendapat para
sahabat yang menyalahinya.
b. Fatwa
Shahaby:
yaitu ketika beliau tidak mendapatkan nash dan beliau mendapati suatu
pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka
beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memenadang bahwa pendapat
itu merupakan ijma’.
c. Pendapat
Sebagian Sahabat yaitu
mengambil pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terrkadang
beliau tidak memberikan fatwa jika tidk memperoleh Pentarjih atas suatu
pendapat.
d. Hadits
Mursal atau Da’if:
Mursal menurut bahasa merupakan isim maf’ul yang berarti dilepaskan.
Sedangkan hadits mursal menurut istilah adalah hadits yang gugur perawi dari
sanadnya setelah tabi’in. Seperti bila seorang tabi’in mengatakan, ”Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat begini”.
e. Qiyas: akan dipakai jika
benar-benar tidak ada ketentuan-ketentuan hukumnya dari poin a-d tersebutd di
atas, namun Qiyas ini mendapat posisi yang kecil dalam penentuan Hukum (pada
masa tersebut), namun tidak menutup kemunkinan Qiyas akan menjadi penting di
masa yang akan datang.
b.
Istinbath hukum yang menghasilkan ketetapan hukum
secara permanen (muttafaq), sedangkan Mukhtalaf alaih
berimplikasi pada ketetapan hukum yang diperselisihkan (dalil yang tidak
disepakati)
a)
Muttafaq
1)
اَلضُّرَرُيُزَالُ
“Kemudharatan harus
dihilangkan.”
Maksudnya ialah jika sesuatu
itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka
keberadaanya wajib dihilangkan.
Yang dimaksud “darurat” ialah
suatu keadaan yang bisa berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara yang
luar biasa dan bahkan terkadang dengan cara melanggar hukum. Sedangkan yang
dimaksud “hajat” ialah suatu keadaan biasa tidak diperkenankan menanganinya
secara khusus, bisa timbul kesukaran dan kerepotan. Dan faktor inilah inilah,
maka kaidah ketiga dipakai, yaitu:
2)
اَلْمَشَقَّةُ
تَجْلِيبُ التَّيسِيْر
“Kesukaran itu melahirkan
kemudahan.”
Dasar-dasar
Nash Yang Berkaitan
Firman
Allah SWT:
“Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(al-Qashash: 77)
“janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi
kemudharatan.”(al-Baqarah:
231)
3)
Hadits
Nabi SAW:
اَلضَّرُورَات تُبِيْعُ
الْمَحْظُوْرَاتِ
“Kemadharatan
itu membolehkan yang dilarang”
Di kalangan Ulama Ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan
seseorang melakaukan hal-hal yang dilarang adalah kadaan yang memenuhi syarat sebagai
berikut:
a)
Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b)
Keadaa darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
c)
Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Adapun dasar pijakannya
adalah firman Allah sebagai berikut:
“Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
(al-Baqarah: 173)
Dengan adanya dasar al-Qur’an
tersebut, maka dalam keadaan terpaksa, seseorang boleh diperbolehkan melakukan
suatu perbuatan yang dalam kebiasaannya melakukannya, kemungkinan besar sekali
menimbulkan kemadhatratan pada dirinya. Oleh sebab itu, maka kaidah-fiqih
tersebut merupakan pengecualian syariah yang bersifat umum (general law),
artinya orang haram hukum melakukan hal-hal yang telah diharamkan atau dilarang
oleh agama.[6]
Contohnya: Diibaratkan
disuatu desa ada seorang ibu-ibu yang akan melahirkan namun, sudah dalam
keadaan kondisi yang sangat kritis sedangkan di desa tersebut tidak ada seorang
bidan dan hanya seorang dokter laki-laki. Maka hal seperti itu yang dibolehkan
bagi dokter laki-laki tersebut melihat kemaluan dari pada pasien tersebut.
4)
اَلضُّرُوْرَاتُ تُقَدَّ رُبِقدَرِهاَ
“Sesuatu yang
diperbolehkan karena darurat, harus diperkirakan menurut batasan ukuran
kebutuhan minimal.”
Kaidah diatas sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang
karena kondisi darurat. Seperti telah dijelaskan melakukan yang haram karena
darurat tidak boleh melampaui batas, tetapi hanya sekedarnya.
Oleh sebab itu, jika kemudharatan atau keadaan yang memaksa tersebut sudah
hilang, maka hukum kebolehan yang berdasarkan kemudharatan menjadi hilang juga,
artinya perbuatan boleh kembali keasal semula, yaitu terlarang.
5)
اَلْحاَجَةُتُنَزَّلُ
مَنْزِلَةَالضُّرُوْرَةِعَامَّةًكَانَتْ أَوْخَاصَّةً
“Kedudukan
kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus.”
Menurut kaedah ini, kejahatan yang sangat mendesak, dapat disamakan dengan
keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan itu bersifat umum, niscaya berubah
menjadi darurat.[13]
Contoh:
Diibaratkan Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan
demi mengurangi kecelakaan lalu lintas karena sudah sangat ramai, maka dari itu
pemerintah berencana akan membongkar sebagian rumah warga. Hal tersebut
dibolehkan demi kepentingan orang banyak.
b) Mukhtalaf
Selain
dari empat dalil hukum disepakati diatas yang mana para ulama sepakat, akan
tetapi ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas
penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan
dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain
mengingkarinya. Oleh karena itu ada Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati oleh
para ulama itu banyak, dan yang kami temui ada 5 hukum, seperti dibawah ini :
1. Isthisan (الإستحسان)
Menurut bahasa, istihsan berarti
menganggap sesuatu lebih baik atau mencari kebaikan. Menurut ulama ushul
fiqh, ialah berpaling pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama
menuju hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat”. Jadi istihsan ialah
berpaling dari qiyas kahfi atau dari hukum kulli menuju yang dikecualikan
karena ada dalil yang lebih kuat.
Khilaf Tentang Dasar Hukum
Istihsan
Yang menentang istihsan dan
tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan
mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan
hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti
ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya,
sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan
istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu
arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil
yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih
dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda
dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan
itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan
hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa
kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam
bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah
sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk
yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang
mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang
menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua
dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian
kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi
Isthisan”.
2. Isthishab (الإستصحاب)
Menurut
lughat ialah membawa atau menemani. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang
menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum
terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah
berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya
perubahan (hukum tersebut). Atau menetapkan suatu hukum sebelumnya, sehingga
yang baru merubahnya.” Dari definisi diatas melahirkan kaidah :
الأصل
بقاء ماكان على ماكان.
“Asal
sesuatu itu tetap seperti sedia kala”
Banyak
ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk
dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak
menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany
misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab)
adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang
suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian
al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di
sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan
hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak
berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap
berlaku”.
Jenis-jenis
Istishhab
Isthisab
merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para
ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat
beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang
telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.
3. Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum) (المصلحة المرسلة)
Mashalihul
mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri
secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa
maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي).
Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah
menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan
mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” .
Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang
diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul
khomsah).
Adapun
terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama
menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun
dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama
Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil
disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits
atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu
merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi
suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah
sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh
yang paling banyak dan luas menerapkannya.
4.
‘Urf (العرف)
Urf
menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang
yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling
dikenal oleh manusia dan mereka menjadikan tradisi. Syarat-syarat urf dapat
diterima oleh hukum islam
·
Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam
al Qur’an atau as Sunnah.
·
Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at
termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
·
Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan
beberapa orang saja.
Para
ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan
mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.
Ulama
Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk
madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan
sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam
Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang
belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang
fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas
maupun ketentuan umum nash.
5. Syari’at Sebelum Kita (شرع من قبلنا)
Pengertianya
yaitu syari’at- syari’at yang diberlakukan pada Nabi-nabi terdahulu sebelum
datangnya Rasulullah SAW.
Adapun
Syari’at mereka dabagi 3 :
a. Yang telah dihapuskan oleh
syari’at kita.
Jika Al-Qur;an dan hadist telah menerangkan tentang syari’at umat terdahulu,
dan dijelaskan pula bahwa syari’at itu telah dihapus maka tidak boleh dihapus.
b.
Yang tidak
dihapuskan dan dijelaskan oleh Nash. Apabila kita temi semacam ini, maka harus dijlankan, tidak
ada alasan apapun. Seperti ketika pada Nabi Musa terdapat hukum qisas dan
sampai saat ini masih dijalankan.
c. Yang tidak dijelaskan
Al-Qur’an atau hadist,
tapi juga tidak dihapus.Terhadap syariat ini, perlu dikembalikan pada kekuatan
kitab terdahulu.
3.
a. Ukuran benar dan salah, syah dan batal
dalam mempergunakan pendapat tertentu dalam kacamata hukum Islam. Sebuah
pendapat atau ra’yu atau hasil pemikiran dapat dikatakan benar atau salah
dapat dilihat ada tidaknya dasar rujukan ra`yu itu kepada nash
al Qur`an atau Sunnah. Bentuk penggunaan ra`yu sendiri dalam dalil hokum
fiqh diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Dilihat dari segi
orang yang menggunakannya, dibagi dua :
a)
Penggunaan ra`yu
secara kolektif atau ijtihad jama`i, yaitu hukum
yang ditetapkan didasarkan pada hal penalaran yang sama.
b)
Penggunaan ra`yu
secara perorangan ( ijtihad fardi ), yaitu apa yang dicapai oleh seseorang
mujtahid tentang hukum suatu masalah belum tentu sama dengan apa yang dapat
dicapai oleh mujtahid lain mengenai masalah yang sama.
Dari
dua cara penggunaan ra`yu diatas, yang terkuat dari segi kebenaran atau terhindar
dari kesalahan adalah ijtihad jama`i. Cara penggunaan ijtihad jama`idisebut
juga ijma`.
2. Dilihat dari segi ada
tidaknya dasar rujukan ra`yu itu kepada nash al Qur`an atau Sunnah :
a.
Ra`yu yang merujuk
pada nash Qur`an dan Sunnah.
b.
Ra`yu yang tidak
merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah
Yang
terkuat dari segi pencapaian kebenaran dan terhindar dari kesalahan adalah
ra`yu yang merujuk pada nash al Qur`an dan Sunnah. Penggunaan ra`yu ini disebut
qiyas. Ijma dan qiyas disepakati ulama sebagi dalil yang
kuat dalam penemuan hukum fiqh dalam al Qur`an dan Sunnah yang tidak
menjelaskan hukumnya secara pasti.
Seperti
yang terdapat di atas sebuah pendapat atau ra’yu atau hasil pemikiran dapat
dikatakan Benar atau Salah dapat dilihat ada
tidaknya dasar rujukan ra`yu itu kepada nash al Qur`an atau Sunnah. Salah satu
Ro’yu yang merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah ialah Ijma’ dan Qiyas. Maka untuk
membahas Syah dan Batal nya maka akan dibahas dalam cakupan
Ijma’.
Nasakh
( Pembatalan ) Ijma` adalah munculnya ijma` ulama yang menyatakan bahwa
keputusan ijma` sebelumnya tidak berlaku lagi; atau muncul pendapat ulama
secara perorangan; atau muncul suatu ijma` atas suatu hukum berbeda dengan apa
yang sebelumnya disepakati ulama terdahulu.
Pada
dasarnya Nasakh ( Pembatalan ) tidak
berlaku kecuali dalam hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash al Qur`an ataupun
hadits dan hanya berlaku semasa Nabi masih hidup dan tidak berlaku sesudahnya.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa nasakh tidak berlaku dalam ijma`. Alasannya bahwa yang
akan menasakh tentunyan nash, ijma`, dan qiyas. Tidak mungkin ijma` dinasakh
dengan nash al Qur`an atau Sunnah karena keduanya hanya mungkin terjadi pada
masa Nabi masih hidup, sedangkan ijma` terjadi setelah Nabi wafat.
Ulama
Mu`tazilah Fakhrur Razi berpendapat bahwa ijma` dapat dinasakh dengan ijma`
yang datang kemudian. Alasannya, diantara sandaran ijma` adalah qiyas yang
`illatnya adalah sifat yang dilihat oleh ulama sebagai maslahat, tetapi
maslahat itu berubah pada masa berikutnya dan pada masa itu ulama merujuk pada
sifat yang lain ( yang berbeda ). Keadaan yang telah berubah ini menghendaki
hukum yang berbeda dari hukum yang sebelumnya.
Bila
telah berlangsung suatu ijma` maka ia mempunyai kekuatan hukum ( hujjah ) untuk
pada masa itu atau untuk umat sesudahnya. Penukilan dan penyebaran ijma` harus
meyakinkan yaitu melalui khabar yang mutawatir supaya bersifat qath`i pada asa
hukumnya dan qath`i pada sanadnya ( materi hukumnya ) dan periwayatannya.
Ulama
berbeda tentang periwayatan ijma`. Ada ulama yang mempersyaratkan dalil asal
harus qath`id an menolak penggunaan khabar ahad dalam menukilkan ijma`. Ulama
yang lain tidak mensyaratkan dalil asal harus qath`i, mereka berpendapat bahwa
ijma` yang dinukilkan secara ahad dapat dijadikan hujjah.
b. Ibahah sebagai sumber hokum
Pembagian mubah menurut ulama Ushul Fiqh
dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, antara lain:
a. Mubah yang
apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat, seperti
makan, minum, berpakaian dan berburu.
b. Mubah yang
apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan ini
sendiri pada dasarnya diharamkan.
Mubah seperti ini di antaranya, melakukan
sesuatu dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan daging babi, karena
tidak ada makanan lagi yang mesti dimakan dan apabila daging babi itu tidak
dimakan, maka seseorang akan meninggal dunia. Oleh sebab itu, dalam kondisi
seperti ini makan daging babi untuk sekedar mempertahankan nyawa termasuk
mubah. Atau sesuatu yang pada dasarnya wajib dilaksanakan, tetapi karena
darurat, maka boleh ditinggalkan, seperti berbuka puasa bagi orang hamil,
musafir dan ibu yang menyusui anaknya.
Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudarat dan
tidak boleh dilakukan menurut syara', tetapi Allah memaafkan pelakunya,
sehingga perbuatan itu menjadi mubah. Misalnya mengerjakan pekerjaan haram
sebelum islam, seperti mengawini bekas istri ayah (ibu tiri) dan mengawini dua
orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian datang syari'at islam yang
mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan bahwa orang yang telah
melakukannya sebelum islam dimaafkan.
4.
Pengertian dan contoh
metode interpretasi bahasa (bayan), metode kausasi (ta'lili), dan
metode kemashlahatan (istishlahi) :
a. Metode penemuan hukum bayani adalah suatu metode berdasarkan
kepada pemahaman terhadap teks. Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal
juga dengan istilah metode penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian
at-tabayun ( mencari penjelasan) dan at-tabyin, yakni proses mencari kejelasan
(azh-zhohir) dan pemberian penjelasan (al-izhar) upaya memahami (al-fahm) dan
komunikasi pemahaman (al-ifham), perolehan makna (at-talaqqi) dan penyampaian
makna (at-tablig). Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak-tidaknya
mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang
bermakna mengartikan,menafsirkan atau menerjemah, dan juga bertindak sebagai
penafsir. Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu
dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari
bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang
maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang
jelas atau ambigu menuju ke yang lebih.
Contoh Metode Bayani :
Jika seseorang meyatakan ia memerdekakan
budak maka secara makna atau bayani dapat dipahami bahwa ia tidak membedakan
antara budak laki-laki dan perempuan.
b. Metode penemuan hukum ta‟lili adalah suatu metode penemuan hukum
dengan illat dalam suatu masalah. Metode ijtihad ta’lili (kausasi) berusaha
meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nash ke kasus cabang yang memiliki
persamaan illat. Dalam epistemologi hukum Islam pola ini teraplikasi melalui
qiyas. Dasar rasional aplikasi pola ini adalah adanya keyakinan kuat mujtahid
yang melakukan qiyas mengenai adanya suatu atribut (wasf) pada kasus pokok yang
menjadi alasan ditetapkannya hukum yang berlaku terhadap kasus tersebut dan
atribut yang sama terdapat pada kasus cabang sehingga hukum kasus pokok itu
berlaku pada kasus cabang.
Contoh metode Ta’lili :
Narkoba adalah suatu perbuatan yang perlu
diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai
dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan
mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu
perbuatan minum khamr yang diharamkan. Antara minum narkoba dan minum khamr ada
persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya,
sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah
hukum meminum narkoba itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
Menyamakan Illatnya itulah metode ta’lili
c. Metode penemuan hukum istislahi adalah metode penemuan hukum
yang stresingnya lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Upaya
penemuan metode yang prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada
pola ijtihad istislahi yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis
sosial. Namun usaha yang dirintis oleh al-Ghazali dan tertata sebagai bidang
keilmuan yang mantap dan terstruktur di tangan as-Syatib ini tidak begitu
berkembang, dipakai sebagai piranti ijtihad. Alasan umum realitas ini adalah tiadanya
kata mufakat di antara pemikir akan otensitas dan landasan epistemik pola ini
sebagai metode penemuan hukum Islam. Sebagaimana akan terlihat nanti betapa
prospek metode ini akhirnya hilang dan baru muncul pada akhir-akhir ini dengan
format, struktur dan kemasan yang modern.
Contoh Metode Istislahi :
Praktek
para sahabat ketika mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal
ini tidak dilakukan pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang mendorong mereka tak
lain untuk menjaga al-Quran dari kepunahan karna banyak hafidz yang meninggal.
Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah, “Sesungguhnya kamilah yang
menurunkan alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”(Q.S:
Al-hijr).
5. Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari
al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri
kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya
lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah;
meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”
Adapun
menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama.
Inti dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan
memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal
yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai
contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H)
bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan,
padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan
menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali
jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak
perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam
Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
Lebih
jauh, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf memberikan gambaran aplikatif seputar
penggunaan Istihsan ini dengan mengatakan,
Jika
sebuah kasus terjadi yang berdasarkan keumuman nash yang ada atau kaidah umum
tertentu kasus itu seharusnya dihukumi dengan hukum tertentu, namun dalam
pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini memiliki kondisi dan hal-hal
lain yang bersifat khusus yang kemudian –dalam pandangannya- bila nash yang
umum, atau kaidah umum, atau memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru
akan menyebabkan hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia
pun meninggalkan hukum tersebut menuju hukum yang lain yang merupakan hasil
dari pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya dari
kaidah umumnya, atau qiyas ‘khafy’ yang tidak terduga (sebelumnya). Proses
‘meninggalkan’ inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu
metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang
bersifat khusus untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada
logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil lain juga atas hasil ijtihad
ini.”
Menyikapi
penggunaan Istihsan kemudian menjadi masalah yang diperselisihkan oleh
para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam
menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad. Berikut ini
adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
Pendapat
pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan
hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan
pendapat ini adalah sebagai berikut:
1.
Firman Allah:
“Dan
ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan
kalian.” (al-Zumar:55)
Menurut
mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain
yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan
adalah hujjah.
2.
Firman Allah:
“Dan
berikanlah kabar gembira pada hamba-hamba(Ku). (Yaitu) mereka yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti yang terbaik (dari)nya...” (al-Zumar: 17-18)
Ayat ini
–menurut mereka- menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan
mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali
untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
3.
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang
baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.” Hadits ini menunjukkan bahwa apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun
demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan
4.
Ijma’.
Mereka
mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang
dilandasi oleh Istihsan, seperti:
-
Bolehnya masuk ke dalam hammam
tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka
waktu pemakaiannya.
-
Demikian pula dengan
bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal barang
yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat
kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah. Para
pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah
atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah
dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan
sebuah hukum.
2. Firman Allah:
“Wahai kaum beriman, taatlah kalian
kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta ulil amri
dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya...” (al-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk
kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan
tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan
demikian, ia tidak dapat diterima.
3. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan
akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil,
maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi
lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun,
karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan dengan
logikanya sendiri.
4. Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’
untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan
qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah
para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah...’ ....”
Demikianlah
dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih
Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah
yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika
kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan
bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber
hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika
sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal
yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih
dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan tersebut
(sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).
Dan
jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan,
kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena
kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam
penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan
kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan
sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para
pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang
hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
Karena
itu, banyak ulama –termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah- memandang
bahwa khilaf antara Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara khusus dalam masalah
ini hanyalah khilaf lafzhy (perbedaan yang bersifat redaksional belaka),
dan bukan perbedaan pendapat yang substansial. Apalagi –sebagaimana juga akan
dijelaskan kemudian- ternyata Imam al-Syafi’i (w. 204 H) sendiri ternyata
menggunakan Istihsan dalam beberapa ijtihadnya. Karena itu, al-Syaukany
mengatakan,
Jika
(yang dimaksud dengan) Istihsan adalah mengatakan sesuatu yang dianggap bagus
dan disukai oleh seseorang tanpa landasan dalil, maka itu adalah sesuatu yang
batil, dan tidak ada seorang (ulama)pun yang menyetujuinya. Namun jika yang
dimaksud dengan Istihsan adalah meninggalkan sebuah dalil menuju dalil lain
yang lebih kuat, maka ini tidak ada seorang (ulama)pun yang mengingkarinya.
Maslahah Al Mursalah:
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun
makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung
manfaat. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah yang
dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mangandung
esensi yang sama. Imam Al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah
adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara’.” Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, menurut
al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk
memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas, maka dinamakan maslahah. Di
samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan
dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah.
Dengan
demikian, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak
mempunyai dasardalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.
Sedangkan
alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’ memutlakannya bahwa di dalamnya
tidak terdapat kaidah syara’ menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
Para
ahli ushul fiqh mengemuakkan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari
beberapa segi :
Dilihat
dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh
membaginya kepada tiga macam, yaitu:
1.
Maslahah al-Dzaruriyyah,
yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di
dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu :
1. memelihara agama
2. memelihara jiwa
3. memelihara akal
4. memelihara keturunan
5. memelihara harta.
Kelima
kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
2.
Maslahah al-Hajiyah, yaitu
kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar)
sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara
kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan
meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.
3.
Maslahah al-Tahsiniyyah,
yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat
melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang
bergizi.
Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membaginya
kepada:
1.
Maslahah al-‘Ammah, yaitu
kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, para
ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat,
karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2.
Maslahah al-Khashshah,
kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang
berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang
(maqfud).
Dilihat
dari segi berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi,
guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1. Maslahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap,
tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti
shalat, puasa, zakat, dan haji.
2. Maslahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah
sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti
ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adapt kebiasaan.
Dilihat dari segi keberadaan
maslahah menurut syara’ terbagi kepada:
1.
Maslahah al-Mu’tabarah,
yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus
yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
2.
Maslahah al-Mulghah, yaitu
kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan
syara’.
3.
Maslahah al-Mursalah, yaitu
kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula
dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk
ini terbagi dua, yaitu:
a.
maslahah al-gharibah, yaitu
kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan
dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum.
b.
maslahah al-mursalah, yaitu
kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi
didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).
Adapun
terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama
menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun
dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama
Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil
disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits
atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu
merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi
suatu hukum.
Ulama
Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam
menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak
dan luas menerapkannya. Untuk bisa menjadikan maslahah al-mursalah sebagai
dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga
syarat, yaitu:
1. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk
dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
2. Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar
perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu
benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3. Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan
kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Ulama golongan Syafi’iyyah, pada dasarnya, juga menjadikan
maslahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i,
memasukkannya ke dalam qiyas. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali
terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum,
yaitu:
1. Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’
2. Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash
syara’
3. Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri,
baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan
universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Dengan
demikian, Jumhur Ulama sebenarnya menerima maslahah al-mursalah sebagai salah
satu metode dalam mengistinbatkan hukum islam.
Alasan
Jumhur Ulama dalam menetapkan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum,antara lain adalah:
1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap
hukum mengandung kemaslahatan bagi manusia.
2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan
tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at islam terbatas
pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3. Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa
perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khathab tidak memberi bagian zakat
kepada para muallaf (orang yang baru masuk islam), karena menurut ‘Umar,
kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu.
No comments:
Post a Comment
tinggalkan komentar ^^