WELCOME TO Hiel'S BLOGGER

Tuesday, December 31, 2013

JAWABAN USHULFIQH


           1.  Fatwa (Ijma’) dalam kajian Ushulfiqh.
a.       Beberapa Fatwa tentang merokok sendiri menimbulkan beberapa fatwa hukum yang di perselisihkan. Bahkan MUI sendiri belum menegaskan tentang hukumnya, juga seperti dua organisasi terbesar di Indonesia yang masih bertentangan akan Hukum merokok.
Muhammadiyah lewat Majelis Tarjihnya telah menetapkan hukum merokok haram, sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan hukum rokok hanya sebatas makruh. Perbedaan pendapat semacam ini tentunya merupakan sesuatu yang menarik untuk ditelisik lebih jauh lagi. Terlebih kedua organiasi ini merupakan organisasi terbesar yang ada di Indonesia dan memiliki pendukung fanatik sendiri-sendiri, sehingga apapun yang menjadi keputusan pasti akan dijalankan semuanya.
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum). Kajian Ilmu fiqh Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada empat unsur:
1.      Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma’) tidak mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing mengemukakan pendapat yang ada penyelesaian pandangan.
2.      Bila ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, kebangsaan atau kelompok mereka.
3.      Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum tidak dapat dianggap ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju, sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat.
4.      Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah). Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijma’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
a)      Kehujjahan ijma’ shari
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur
Firman Allah SWT. dalam surat Annisa’ ayat 115.
Artinya : Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu’min adalah hak dan wajib diikuti.
b)      Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’I yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’I atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’I seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qat’I karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.
Dari beberapa keterangan di atas tentang Ijma’ maka Fatwa hukum merokok belum ada kesepakatan ahli ijtihad karena di lihat dari segi Ijma’ menurut istilah saja sudah tidak memenuhi kriteria ijma. Yaitu ”Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum)”
b.      Dalam hal ini perbedaan pendapat para ulama yang berbeda-beda akan pendapat bukan di maksudkan untuk ketidaksepakatan tetapi karena memang  mempunyai arah berfikir yang berbeda-beda.
Perbedaan pendapat dalam masalah memang tidak bisa dihindari bagi orang-orang yang punya ilmu dan termasuk perbedaan pendapat yang dimaklumi. Karena setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat ”كل رأس رأيselama itu tidak menyalahi aturan yang ditetapkan. Golongan yang benar mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala dari kebenaran ijtihadnya. Golongan yang salah mendapat satu pahala, yaitu pahala ijtihad.
Terkait bagi orang yang acuh tak acuh dan tidak mau menau maka haram hukumnya jika Ijma’ sudah di sepakati. Seperti keterangan sebelumnya Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi. Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur yang di di kutip dari Firman Allah SWT. dalam surat Annisa’ ayat 115.
Artinya : Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)

2.       
a.       Para fuqaha madzhab empat ( Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali ) sepakat bahwa kaidah fiqih dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil) sumber hukum Islam dan dapat diaplikasikan terhadap masalah-masalah kontemporer.
Para ulama sepakat bahwa, Sumber Hukum Islam ada tiga, yaitu; al Quran, Sunnah, dan al Rayu ( akal ). Landasannya adalah :
1.)  Al Quran surat al Nisa (4) : 59 yang artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( al Quran ) dan Rasul ( Sunnah )”.
Perintah mentaati Allah berarti perintah menjalankan hukum yang terdapat dalam al-Quran. Perintah mentaati Rasul berarti perintah mengamalkan apa yang disampaikan Rasul dalam Sunnahnya. Perintah mentaati ulil amri berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan berdasarkan ijma.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan hukumnya kepada Allah dan Rasul berarti perintah mengamalkan hokum yang ditemukan melalui qiyas. Ijma dan qiyas merupakan hasil dari al Rayu ( hasil ijtihad ).
2.) Sunnah, yaitu kisah pembicaraan Nabi dengan Muaz bin Jabal sewaktu ia diutus oleh Nabi sebagai qadli ( hakim ) ke Yaman.
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”
Ra’yu sendiri Dilihat dari segi ada tidaknya dasar rujukan ra`yu itu kepada nash al Qur`an atau Sunnah :
a.   Ra`yu yang merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah.
b.   Ra`yu yang tidak merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah
Dan Ra’yu bermacam-macam ke empat madzhab mempunyai pendapat masing-masing metode istinbath :
1.      Istinbath Mazhab Imam Abu Hanifah
Mazhab abu Hanifah adalah gambaran yang hidup dan jelas bagi relevansi  Hukum Islam dengan tuntutan masyarakat, beliau mendasarkan mazhabnya pada :
a.    Al-Qur’an Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir zaman.
b.   Hadits:  Hadits merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat umum.
c.   Aqwalus shahabah (Ucapan Para Sahabat): ucapan para sahbat menurut Imam hanafi itu sangat penting karena menurut beliau para sahabat meupakan pembawa ajaran rasul setelah generasinya.
d.   Qiyas: beliau akan menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam Nash Al-Qur’an, Hadits, maupun Aqwalus shahabah.
e.   Istihsan: merupakan kelanjutan dari Qiyas. Epnggunaan Ar-Ra’yu lebih menonjol lagi,istihsan menurut bahasa adalah “menganggap lebih baik”, menurut  ulama Ushul Fiqh Istihsan adalah meninggalkan ketentuan Qiyas yang jelas Illatnya untuk mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.
f.    Urf, beliaua mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dalam kebutuhan srta memeperhatikan muamalh manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau menggunakan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah dan Ijma’ atau Qiyas ), beliau akan menggunakan Istihsan, jika tidak bisa digunakan dengan istihsan maka beliau kembalikan kepada Urf manusia
2.      Istinbath Mazhab Imam Malik
Mazhab Imam Malik adalah sebagai berikut:
a.       Al-qur’an: Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an.
b.      Sunnah rasul yang beliau pandang sah.
c.       Ijma’ para Ulama Madinah, tetapi beliau kadang-kadang menolak hadits apabila nyata-nyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.
d.      Qiyas : Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.
e.       Mashalihul Mursalah (Istislah): Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab   sholaha- yasluhu  menjadi  sholhan atau mashlahatan  yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal  dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu:  arsala- yursilu- irsalan- mursalan  yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
3.      Istinbath Mazhab Imam Syafi’I
Mazhab Imam adalah sebagai berikut:
a.       Al-qur’an: Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir zaman.
b.      Hadits; Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an
c.       Ijma’ Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid
d.      Qiyas
e.       Istishab Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.
4.      Mazhab Imam Ibnu Hanbal
Mazhab Imam Ibnu Hanbal adalah sebagai berikut:
a.       Al-qur’an dan Hadits: yakni beliau jika telah mnemukan nahs dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits maka beliau tidak memperhatikan dalil-dalil yang lain dan juga kepada pendapat para sahabat yang menyalahinya.
b.      Fatwa Shahaby: yaitu ketika beliau tidak mendapatkan nash dan beliau  mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memenadang bahwa pendapat itu merupakan ijma’.
c.       Pendapat Sebagian Sahabat yaitu mengambil pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terrkadang beliau tidak memberikan fatwa jika tidk memperoleh Pentarjih atas suatu pendapat.
d.      Hadits Mursal atau Da’if: Mursal menurut bahasa merupakan isim maf’ul yang berarti dilepaskan. Sedangkan hadits mursal menurut istilah adalah hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in. Seperti bila seorang tabi’in mengatakan, ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat begini”.
e.       Qiyas: akan dipakai jika benar-benar tidak ada ketentuan-ketentuan hukumnya dari poin a-d tersebutd di atas, namun Qiyas ini mendapat posisi yang kecil dalam penentuan Hukum (pada masa tersebut), namun tidak menutup kemunkinan Qiyas akan menjadi penting di masa yang akan datang.
b. Istinbath  hukum  yang menghasilkan ketetapan hukum secara permanen (muttafaq), sedangkan Mukhtalaf alaih berimplikasi pada ketetapan hukum yang diperselisihkan (dalil yang tidak disepakati)
a)      Muttafaq
1)                   
اَلضُّرَرُيُزَالُ
“Kemudharatan harus dihilangkan.”
Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib dihilangkan.
Yang dimaksud “darurat” ialah suatu keadaan yang bisa berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara yang luar biasa dan bahkan terkadang dengan cara melanggar hukum. Sedangkan yang dimaksud “hajat” ialah suatu keadaan biasa tidak diperkenankan menanganinya secara khusus, bisa timbul kesukaran dan kerepotan. Dan faktor inilah inilah, maka kaidah ketiga dipakai, yaitu:
2)                   
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِيبُ التَّيسِيْر
“Kesukaran itu melahirkan kemudahan.”
Dasar-dasar Nash Yang Berkaitan
Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(al-Qashash: 77)
 “janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan.”(al-Baqarah: 231)
3)                   
Hadits Nabi SAW:
اَلضَّرُورَات تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَاتِ
 “Kemadharatan itu membolehkan yang dilarang”
            Di kalangan Ulama Ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakaukan hal-hal yang dilarang adalah kadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a)      Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b)      Keadaa darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
c)      Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Adapun dasar pijakannya adalah firman Allah sebagai berikut:
 “Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 173)
      Dengan adanya dasar al-Qur’an tersebut, maka dalam keadaan terpaksa, seseorang boleh diperbolehkan melakukan suatu perbuatan yang dalam kebiasaannya melakukannya, kemungkinan besar sekali menimbulkan kemadhatratan pada dirinya. Oleh sebab itu, maka kaidah-fiqih tersebut merupakan pengecualian syariah yang bersifat umum (general law), artinya orang haram hukum melakukan hal-hal yang telah diharamkan atau dilarang oleh agama.[6]
Contohnya: Diibaratkan disuatu desa ada seorang ibu-ibu yang akan melahirkan namun, sudah dalam keadaan kondisi yang sangat kritis sedangkan di desa tersebut tidak ada seorang bidan dan hanya seorang dokter laki-laki. Maka hal seperti itu yang dibolehkan bagi dokter laki-laki tersebut melihat kemaluan dari pada pasien tersebut.
4)                   
اَلضُّرُوْرَاتُ تُقَدَّ رُبِقدَرِهاَ
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, harus diperkirakan menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”

            Kaidah diatas sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Seperti telah dijelaskan melakukan yang haram karena darurat tidak boleh melampaui batas, tetapi hanya sekedarnya.
            Oleh sebab itu, jika kemudharatan atau keadaan yang memaksa tersebut sudah hilang, maka hukum kebolehan yang berdasarkan kemudharatan menjadi hilang juga, artinya perbuatan boleh kembali keasal semula, yaitu terlarang.
5)                   
اَلْحاَجَةُتُنَزَّلُ مَنْزِلَةَالضُّرُوْرَةِعَامَّةًكَانَتْ أَوْخَاصَّةً
“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus.”
            Menurut kaedah ini, kejahatan yang sangat mendesak, dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan itu bersifat umum, niscaya berubah menjadi darurat.[13]
Contoh: Diibaratkan Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan demi mengurangi kecelakaan lalu lintas karena sudah sangat ramai, maka dari itu pemerintah berencana akan membongkar sebagian rumah warga. Hal tersebut dibolehkan demi kepentingan orang banyak.
b)      Mukhtalaf
Selain dari empat dalil hukum disepakati diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu ada Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati oleh para ulama itu banyak, dan yang kami temui ada 5 hukum, seperti dibawah ini :
1.  Isthisan (الإستحسان)
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap sesuatu lebih baik atau mencari kebaikan. Menurut ulama ushul fiqh, ialah berpaling pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat”. Jadi istihsan ialah berpaling dari qiyas kahfi atau dari hukum kulli menuju yang dikecualikan karena ada dalil yang lebih kuat.
Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi Isthisan”.
2.   Isthishab (الإستصحاب)
Menurut lughat ialah membawa atau menemani. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut). Atau menetapkan suatu hukum sebelumnya, sehingga yang baru merubahnya.” Dari definisi diatas melahirkan kaidah :
الأصل بقاء ماكان على ماكان.
“Asal sesuatu itu tetap seperti sedia kala”
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.
Jenis-jenis Istishhab
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.
3.   Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum) (المصلحة المرسلة)
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” .
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).
Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya.
4. ‘Urf   (العرف)
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikan tradisi. Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
·         Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
·         Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
·         Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nash.
5.   Syari’at Sebelum Kita (شرع من قبلنا)
Pengertianya yaitu syari’at- syari’at yang diberlakukan pada Nabi-nabi terdahulu sebelum datangnya Rasulullah SAW.
Adapun Syari’at mereka dabagi 3 :
a.   Yang telah dihapuskan oleh syari’at kita. Jika Al-Qur;an dan hadist telah menerangkan tentang syari’at umat terdahulu, dan dijelaskan pula bahwa syari’at itu telah dihapus maka tidak boleh dihapus.
b.   Yang tidak dihapuskan dan dijelaskan oleh Nash. Apabila kita temi semacam ini, maka harus dijlankan, tidak ada alasan apapun. Seperti ketika pada Nabi Musa terdapat hukum qisas dan sampai saat ini masih dijalankan.
c.   Yang tidak dijelaskan Al-Qur’an atau hadist, tapi juga tidak dihapus.Terhadap syariat ini, perlu dikembalikan pada kekuatan kitab terdahulu.
3.                   
a.       Ukuran benar dan salah, syah dan batal dalam mempergunakan pendapat tertentu dalam kacamata hukum Islam. Sebuah pendapat atau ra’yu atau hasil pemikiran dapat dikatakan benar atau salah dapat dilihat ada tidaknya dasar rujukan ra`yu itu kepada nash al Qur`an atau Sunnah. Bentuk penggunaan ra`yu sendiri dalam dalil hokum fiqh diklasifikasikan sebagai berikut :
1.   Dilihat dari segi orang yang menggunakannya, dibagi dua :
a)      Penggunaan ra`yu secara kolektif atau ijtihad jama`i, yaitu hukum yang ditetapkan didasarkan pada hal penalaran yang sama.
b)      Penggunaan ra`yu secara perorangan ( ijtihad fardi ), yaitu apa yang dicapai oleh seseorang mujtahid tentang hukum suatu masalah belum tentu sama dengan apa yang dapat dicapai oleh mujtahid lain mengenai masalah yang sama.
Dari dua cara penggunaan ra`yu diatas, yang terkuat dari segi kebenaran atau terhindar dari kesalahan adalah ijtihad jama`i. Cara penggunaan ijtihad jama`idisebut juga ijma`.
2.  Dilihat dari segi ada tidaknya dasar rujukan ra`yu itu kepada nash al Qur`an atau Sunnah :
a.       Ra`yu yang merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah.
b.      Ra`yu yang tidak merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah
Yang terkuat dari segi pencapaian kebenaran dan terhindar dari kesalahan adalah ra`yu yang merujuk pada nash al Qur`an dan Sunnah. Penggunaan ra`yu ini disebut qiyas. Ijma dan qiyas disepakati ulama sebagi dalil yang kuat dalam penemuan hukum fiqh dalam al Qur`an dan Sunnah yang tidak menjelaskan hukumnya secara pasti.
Seperti yang terdapat di atas sebuah pendapat atau ra’yu atau hasil pemikiran dapat dikatakan Benar atau Salah dapat dilihat ada tidaknya dasar rujukan ra`yu itu kepada nash al Qur`an atau Sunnah. Salah satu Ro’yu yang merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah ialah Ijma’ dan Qiyas. Maka untuk membahas Syah dan Batal nya maka akan dibahas dalam cakupan Ijma’.
Nasakh ( Pembatalan ) Ijma` adalah munculnya ijma` ulama yang menyatakan bahwa keputusan ijma` sebelumnya tidak berlaku lagi; atau muncul pendapat ulama secara perorangan; atau muncul suatu ijma` atas suatu hukum berbeda dengan apa yang sebelumnya disepakati ulama terdahulu.
Pada dasarnya Nasakh ( Pembatalan )  tidak berlaku kecuali dalam hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash al Qur`an ataupun hadits dan hanya berlaku semasa Nabi masih hidup dan tidak berlaku sesudahnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh tidak berlaku dalam ijma`. Alasannya bahwa yang akan menasakh tentunyan nash, ijma`, dan qiyas. Tidak mungkin ijma` dinasakh dengan nash al Qur`an atau Sunnah karena keduanya hanya mungkin terjadi pada masa Nabi masih hidup, sedangkan ijma` terjadi setelah Nabi wafat.
Ulama Mu`tazilah Fakhrur Razi berpendapat bahwa ijma` dapat dinasakh dengan ijma` yang datang kemudian. Alasannya, diantara sandaran ijma` adalah qiyas yang `illatnya adalah sifat yang dilihat oleh ulama sebagai maslahat, tetapi maslahat itu berubah pada masa berikutnya dan pada masa itu ulama merujuk pada sifat yang lain ( yang berbeda ). Keadaan yang telah berubah ini menghendaki hukum yang berbeda dari hukum yang sebelumnya.
Bila telah berlangsung suatu ijma` maka ia mempunyai kekuatan hukum ( hujjah ) untuk pada masa itu atau untuk umat sesudahnya. Penukilan dan penyebaran ijma` harus meyakinkan yaitu melalui khabar yang mutawatir supaya bersifat qath`i pada asa hukumnya dan qath`i pada sanadnya ( materi hukumnya ) dan periwayatannya.
Ulama berbeda tentang periwayatan ijma`. Ada ulama yang mempersyaratkan dalil asal harus qath`id an menolak penggunaan khabar ahad dalam menukilkan ijma`. Ulama yang lain tidak mensyaratkan dalil asal harus qath`i, mereka berpendapat bahwa ijma` yang dinukilkan secara ahad dapat dijadikan hujjah.
b.      Ibahah sebagai sumber hokum
Pembagian mubah menurut ulama Ushul Fiqh dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, antara lain:
a.     Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat, seperti makan, minum, berpakaian dan berburu.
b.    Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan ini sendiri pada dasarnya diharamkan.
Mubah seperti ini di antaranya, melakukan sesuatu dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan daging babi, karena tidak ada makanan lagi yang mesti dimakan dan apabila daging babi itu tidak dimakan, maka seseorang akan meninggal dunia. Oleh sebab itu, dalam kondisi seperti ini makan daging babi untuk sekedar mempertahankan nyawa termasuk mubah. Atau sesuatu yang pada dasarnya wajib dilaksanakan, tetapi karena darurat, maka boleh ditinggalkan, seperti berbuka puasa bagi orang hamil, musafir dan ibu yang menyusui anaknya.
Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut syara', tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah. Misalnya mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam, seperti mengawini bekas istri ayah (ibu tiri) dan mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian datang syari'at islam yang mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan bahwa orang yang telah melakukannya sebelum islam dimaafkan.
4.      Pengertian dan contoh metode interpretasi bahasa (bayan), metode kausasi (ta'lili), dan metode kemashlahatan (istishlahi) :
a.       Metode penemuan hukum bayani adalah suatu metode berdasarkan kepada pemahaman terhadap teks. Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian at-tabayun ( mencari penjelasan) dan at-tabyin, yakni proses mencari kejelasan (azh-zhohir) dan pemberian penjelasan (al-izhar) upaya memahami (al-fahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham), perolehan makna (at-talaqqi) dan penyampaian makna (at-tablig). Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak-tidaknya mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang bermakna mengartikan,menafsirkan atau menerjemah, dan juga bertindak sebagai penafsir. Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih.
Contoh Metode Bayani :
Jika seseorang meyatakan ia memerdekakan budak maka secara makna atau bayani dapat dipahami bahwa ia tidak membedakan antara budak laki-laki dan perempuan.
b.      Metode penemuan hukum ta‟lili adalah suatu metode penemuan hukum dengan illat dalam suatu masalah. Metode ijtihad ta’lili (kausasi) berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nash ke kasus cabang yang memiliki persamaan illat. Dalam epistemologi hukum Islam pola ini teraplikasi melalui qiyas. Dasar rasional aplikasi pola ini adalah adanya keyakinan kuat mujtahid yang melakukan qiyas mengenai adanya suatu atribut (wasf) pada kasus pokok yang menjadi alasan ditetapkannya hukum yang berlaku terhadap kasus tersebut dan atribut yang sama terdapat pada kasus cabang sehingga hukum kasus pokok itu berlaku pada kasus cabang.
Contoh metode Ta’lili :
Narkoba adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr yang diharamkan. Antara minum narkoba dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkoba itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr. Menyamakan Illatnya itulah metode ta’lili
c.       Metode penemuan hukum istislahi adalah metode penemuan hukum yang stresingnya lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Upaya penemuan metode yang prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada pola ijtihad istislahi yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis sosial. Namun usaha yang dirintis oleh al-Ghazali dan tertata sebagai bidang keilmuan yang mantap dan terstruktur di tangan as-Syatib ini tidak begitu berkembang, dipakai sebagai piranti ijtihad. Alasan umum realitas ini adalah tiadanya kata mufakat di antara pemikir akan otensitas dan landasan epistemik pola ini sebagai metode penemuan hukum Islam. Sebagaimana akan terlihat nanti betapa prospek metode ini akhirnya hilang dan baru muncul pada akhir-akhir ini dengan format, struktur dan kemasan yang modern.
Contoh Metode Istislahi :
Praktek para sahabat ketika mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang mendorong mereka tak lain untuk menjaga al-Quran dari kepunahan karna banyak hafidz yang meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah, “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”(Q.S: Al-hijr).
5.      Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama. Inti dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf memberikan gambaran aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini dengan mengatakan,
Jika sebuah kasus terjadi yang berdasarkan keumuman nash yang ada atau kaidah umum tertentu kasus itu seharusnya dihukumi dengan hukum tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini memiliki kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus yang kemudian –dalam pandangannya- bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru akan menyebabkan hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun meninggalkan hukum tersebut menuju hukum yang lain yang merupakan hasil dari pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya dari kaidah umumnya, atau qiyas ‘khafy’ yang tidak terduga (sebelumnya). Proses ‘meninggalkan’ inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil lain juga atas hasil ijtihad ini.”
Menyikapi penggunaan Istihsan kemudian menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
Pendapat pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah sebagai berikut:
1.      Firman Allah:
Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.”  (al-Zumar:55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
2.      Firman Allah:
“Dan berikanlah kabar gembira pada hamba-hamba(Ku). (Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik (dari)nya...” (al-Zumar: 17-18)
Ayat ini –menurut mereka- menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
3.      Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.” Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan
4.      Ijma’.
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
-        Bolehnya masuk ke dalam hammam tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
-        Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah. Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1.      Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
2.      Firman Allah:
“Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul     serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya...” (al-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
3.      Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
4.      Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah...’ ....”
Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).
Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
Karena itu, banyak ulama –termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah- memandang bahwa khilaf antara Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara khusus dalam masalah ini hanyalah khilaf lafzhy (perbedaan yang bersifat redaksional belaka), dan bukan perbedaan pendapat yang substansial. Apalagi –sebagaimana juga akan dijelaskan kemudian- ternyata Imam al-Syafi’i (w. 204 H) sendiri ternyata menggunakan Istihsan dalam beberapa ijtihadnya. Karena itu, al-Syaukany mengatakan,
Jika (yang dimaksud dengan) Istihsan adalah mengatakan sesuatu yang dianggap bagus dan disukai oleh seseorang tanpa landasan dalil, maka itu adalah sesuatu yang batil, dan tidak ada seorang (ulama)pun yang menyetujuinya. Namun jika yang dimaksud dengan Istihsan adalah meninggalkan sebuah dalil menuju dalil lain yang lebih kuat, maka ini tidak ada seorang (ulama)pun yang mengingkarinya.
Maslahah Al Mursalah:
            Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mangandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.” Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, menurut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas, maka dinamakan maslahah. Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah.
Dengan demikian, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasardalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.
Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’ memutlakannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
Para ahli ushul fiqh mengemuakkan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi :
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu:
1.      Maslahah al-Dzaruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu :
1.      memelihara agama
2.      memelihara jiwa
3.      memelihara akal
4.      memelihara keturunan
5.      memelihara harta.
Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
2.      Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.
3.      Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi.
Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
1.      Maslahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2.      Maslahah al-Khashshah, kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud).
Dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1.      Maslahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
2.      Maslahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adapt kebiasaan.
Dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada:
1.      Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
2.      Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
3.      Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu:
a.       maslahah al-gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum.
b.      maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).
Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Untuk bisa menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:
1.      Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
2.      Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3.      Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Ulama golongan Syafi’iyyah, pada dasarnya, juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukkannya ke dalam qiyas. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
1.   Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’
2.   Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
3.   Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Dengan demikian, Jumhur Ulama sebenarnya menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum islam.
Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum,antara lain adalah:
1.      Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi manusia.
2.      Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3.      Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khathab tidak memberi bagian zakat kepada para muallaf (orang yang baru masuk islam), karena menurut ‘Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu.




No comments:

Post a Comment

tinggalkan komentar ^^

Kepemilikan /Kata Ganti ضمير

 Dhomir Kepunyaan ( Dhomir Munfasil )   جَمْعٌ ‏مُثَنَّى ‏ مُفْرَدٌ ضمير هُمْ هُم...