WELCOME TO Hiel'S BLOGGER

Tuesday, December 31, 2013

BIOGRAFI IMAM AHMAD BIN HANBAL DAN IMAM DAWUD AL-DZAHIRI SERTA KARAKTERISTIK PEMIKIRAN HUKUM ISLAM KEDUANYA


BIOGRAFI IMAM AHMAD BIN HANBAL DAN IMAM DAWUD AL-DZAHIRI SERTA KARAKTERISTIK PEMIKIRAN HUKUM ISLAM KEDUANYA



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Islam sangat berpengaruh terhadap setiap orang yang hidup di wilayah muslim, sehingga Islam merupakan suatu “warisan” tersendiri yang sangat berarti. Prinsip-prinsip ajaran Islam telah mewarnai kehidupan sosial sepanjang sejarah dan ke seluruh pelosok dunia. Islam terus menerus berhasil mengemban misi pengentasan bagi persoalan hidup manusia semenjak masyarakat Islam pertama kali di Madinah dibawah pimpinan Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat yang mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasulullah dan faham akan al-Qur’an dan hukum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum untuk kaum muslimin. Karena penyebaran Islam ini tidak hanya melalui penaklukan ke daerah-daerah saja, tetapi juga perlu adanya jerih payah dari tangan para ulama dan fuqoha’ untuk menyebarkan ajaran dan prinsip agama Islam.
Dan penyiaran ajaran Islam oleh para mubaligh ini akan selalu bertalian erat dengan para pakar-pakar mazhab dalam al-Fiqhul Islamy. Sehingga tidak layak bagi kita bila tidak mencoba mengungkap bagaimana para pakar mazhab mengawali da’watul Islam.
Kemudian, pada makalah ini kami mencoba menguraikan tentang Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Dawud al-Dzahiri, yang biasa dikenal oleh masyarakat luas sebagai seseorang yang ahli di bidang ilmu fiqh dan sekaligus juga seorang ilmuwan hadist. Bagaimana tentang kehidupan sosial, budaya serta politik pada masa mereka dan juga tentang istinbat-istinbat hukum yang dipakainya untuk memecahkan masalah kemanusiaan.



B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana biografi Imam Ahmad bin Hanbal?
2.    Bagaimana karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal?
3.    Bagaimana biografi Imam Dawud al-Dzahiri?
4.    Bagaimana karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Dawud al-Dzahiri?
C.       Tujuan Pembahasan
1.    Untuk mengetahui biografi Imam Ahmad bin Hanbal?
2.    Untuk mengetahui karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal?
3.    Untuk mengetahui biografi Imam Dawud al-Dzahiri?
4.    Untuk mengetahui karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Dawud al-Dzahiri?

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Imam Ahmad bin Hanbal
1.   Kelahiran Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad adalah tokoh pendiri madzhab Hambali. Ia bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani al-Mawarzi. Kelahiran Baghdad tahun 164 H dan meninggal pada tahun 241 H di Baghdad. Kedua orang tuanya keturunan Arab dari kabilah Syaiban, ia berjumpa nasab dengan Nabi saw. pada Nazar.[1]
Imam Ahmad hidup di Baghdad yang merupakan pusat peradaban dan ilmu pengetahuan nomor satu pada saat itu. Di sana, tinggal para pakar ilmu pengetahuan. Sejak kecil Imam Ahmad menghafal al-Qur’an, belajar Bahasa Arab, hadits, dan Sejarah. Ketika beranjak dewasa, Imam ahmad memilih untuk menekuni ilmu hadits yang menuntutnya untuk mengembara ke berbagai kota untuk mencari hadits. Dalam pengemabaraannya, Imam Ahmad juga mengkaji Fiqih. Karenanya ia dapat memadukan hadits dan fiqih sekaligus.[2]
Sebagai pecinta hadits, Imam Ahmad harus rela untuk mengembara ke berbagai kota, sebab para ulama’ hadits telah terpencar ke kota-kota. Ia mulai mencari hadits ke Baghdad selama tujuh tahun, pada tahun berikutnya ke Hijaz, kemudian ke Basrah, Kufah, dan Yaman.[3]
Pengembaraan mencari hadits tersebut dalam rangka bertemu dengan para perawi hadits yang masih hidup. Ia pergi ke Basrah lima kali dan ke Hijaz lima kali juga. Pada saat itu, ia bertemu dengan Imam Syafi’i di Masjidil Haram, Makkah. Kemudian ia bertemu lagi dengannya di Baghdad ketika Imam Syafi’i menyebarkan madzhabnya. Pertemuannya dengan Imam Syafi’i yang mementahkan fiqih rasional memberikan pengaruh pada pemikiran Imam Ahmad. Ia pun mengembangkan fiqih tradisional dengan lebih banyak mempergunakan al-Sunnah sebagai rujukan dalam memberikan fatwa.
Imam Ahmad hidup amat sederhana, tidak mempunyai mata pencaharian tetap sebagaimana Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Sumber keuangan yang sering mendatangkan hasil baginya adalah warisan rumah dan tanah serta peralatan penyulaman yang sering disewakan. Seluruh waktunya dihabiskan untuk melakukan analisis terhadap hadits-hadits Nabi, ia juga menyusun hadits berdasarkan sistematika sanad, sehingga lahir karya besarnya “Musnad Ahmad bi hanbal”. Karya ini ditulis dengan bantuan murid-muridnya, terutama Abdullah, putranya sendiri.[4]
Namun perlu dicatat bahwa yang dicari dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad bukan sekedar hadits-hadits Nabi, tetapi juga fatwa dan putusna hukum sahabat, serta fatwa dan putusan hukum murid sahabat Nabi. Riwayat-riwayat tersebut disamping merupakan sunnah juga fiqih yang sangat mendalam. Oleh karena itu, riwayat-riwayat Imam Ahmad tidak terlepas dari fiqih dan fatwa. Bagaimanapun juga ia telah belajar fiqih rasionalis kepada Imam Abu Yusuf yang memberikan pengaruh yang cukup besar pada pemikiran hukumnya. Pemikirannya semakin matang ketika ia berguru kepada Imam Syafi’i di Makkah dan Baghdad. Dengan keterpaduan hadits dan fiqih dalam diri Imam Ahmad bin Hanbal, maka ia dipandang sebagai ahli ijtihad , ahli hadits, bahkan ahli ilmu kalam, mengingat ia dianggap sebagai pendiri aliran salaf.[5]
2.   Guru dan Murid Imam Ahmad bin Hanbal
Diantara guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah (1) Abu Yusuf, (2) Muhammad bin idris al-Syafi’i, (3) Hasyim, (4) Ibrahim bin Sa’ad, (5) Sufyan bin ‘Uyainah.
Ahmad bin hanbal mempunyai beberapa murid yang meneruskan dan mengembangkan ajarannya, diantaranya:
a.    Shalih bin Ahmad bin Hanbal (anak Ahmad bin Hanbal), w. 266 H.
b.    Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (anak Ahmad bin hanbal), w. 290 H.
c.    Ahmad bin Muhammad bin Hani Abu Bakr al-Atsrami (salah seorang teman Ahmad bin Hanbal), w. 261 H.
d.   Abd al-Malik bin Abd al-Hamid bin Mahran al-Maimanui (salah seorang sahabat Ahmad bin Hanbal), w. 271 H.
e.    Ahmad bin Muhammad bin al-Hajaj atau lebih dikenal dengan Abu Bakar al-Mawardzi, w. 275 H.
f.       Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, seorang pakar bahasa Arab, w. 285 H.[6]
Karya Imam Ahmad yang terkenal adalah “al-Musnad”. Kitab ini merupakan kumpulan hadits-hadits yang diterima Imam Ahmad sejak pertama kali ia menerima hadits pada umur 16 tahun pada tahun 180 H sampai akhir hayatnya. Imam Ahmad memang tidak suka mencatat dan menulis, kecuali menulis hadits nabi. Al-Musnad yang ditulis sepanjang hidupnya berserakan di berbagai bahan.
Pada saat merasa ajalnya sudah dekat, Imam Ahmad mengumpulkan anak-anak dan murid pilihannya. Ia mendiktekan kepada mereka hadits-hadits yang dicatatnya hingga menjadi sebuah kumpulan catatan hadits, namun belum tersusun secara sistematis. Karena itu, penyusun al-Musnad yang diterima hingga saat ini adalah putera Imam Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Ahmad.[7]
3.   Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal mulai memberikan fatwa ketika menginjak umur 40 tahun. Sebenarnya sebelum umur tersebut ia sudah memiliki kapasitas yang cukup untuk melakukan hal itu. Namun Imam Ahmad memiliki prinsip bahwa ia tidak akan meriwayatkan hadits atau berfatwa ketika gurunya masih hidup. Oleh karena itu, ia baru bersedia mengeluarkan fatwa pada tahun 204 H, tepat tahun ketika Imam Syafi’i meninggal.
Imam Ahmad bin Hanbal membuka dua majelis untuk kajian-kajiannya, yait di rumah dan di masjid. Kajian di rumah diikuti oleh anak-anaknya sendiri dan para muridnya, kajian di masjid diikuti oleh masyarakat umum dan para muridnya.
Pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal dalam bidang hukum Islam dapat dirangkum sebagai berikut:
a.    Al-Qur’an dan al-Sunnah lebih diutamakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal daripada perkataan para sahabat Nabi saw, termasuk pemahaman mereka terhadap kedua sumber hukum tersebut. Sebagai contoh, Imam Ahmad melarang seorang muslim mewarisi harta non-muslim sesuai dengan hadits Nabi. Ia tidak mengikuti pendapat Mu’adz bin Jabal dan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpendapat sebaliknya.
b.    Pendapat sahabat Nabi diterima oleh Imam Ahmad selama tidak terbantah oleh pendapat sahabat lainnya. jika ada perbedaan pendapat, maka diadakan seleksi dengan menganalisi kedekatannya terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah.
c.    Hadits Mursal (perawi tingkat sahabat Nabi tidak disebutkan) dijadikan sebagai rujukan dalam penyelesaian kasus hukum, padahal Imam Syafi’i sendiri sudah meninggalkannya, karena hadits mursal tergolong hadits yang lemah. Bagi Imam Ahmad, meski sahabat yang tidak disebut itu kurang populer atau diragukan oleh muridnya, sahabat masih lebih baik daripada muridnya. Oleh sebab itu, sebelum melakukan Qiyas, menurutnya lebih baik mengkaji hadits-hadits Nabi, termasuk hadits mursal. Hadits yamg lemah diterima oleh Imam Ahmad, selama hadits tersebut bukan merupakan hadits yang batil dan munkar, serta tidak diceritakan oleh perawi yang diduga tidak dipercaya.
d.   Fatwa murid sahabat Nabi juga diakui oleh Imam Ahmad. Menurutnya, jika seseorang tidak menemukan hukum di dalam al-Qur’an, al-Sunnah, maupun fatwa sahabat Nabi, maka ia wajib mengambil fatwa murid sahabat Nabi.
e.    Qiyas diambil dalam keadaan terpaksa, yakni jika semua rujukan di atas tidak menyatakan langsung tentang ketentuan-ketentuan hukum atau persoalan-persoalan yang dihadapi. Cakupan Qiyas dalam madzhab hambali sangat luas, yakni mencakup penggalian hukum di luar sumber hukum al-Quran dan al-Sunnah, serta pendapat sahabat Nabi dan muridya, jadi, istihsan, mashlahah, dan sebagainya disebut sebagai kelompok Qiyas.[8]
4.   Fiqih Imam Ahmad bin Hanbal
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 dirham. Menurutnya, pencuri yang kadar curiannya mencapai ¼ dinar harus dipotong tangan meskipun tidak sebanding dengan 3 dirham. Begitu juga pencuri yang kadar curiannya mencapai 3 dirham harus dipotong tangan meskipun tidak sebanding dengan ¼ dinar. Adapun nishab bagi pencuri selain barang tambang adalah seharga ¼ dinar atau 3 dirham.
Dalam bidang pemerintahan, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa khalifah harus dari kalangan Quraisy. Sedangkan ketaatan kepada khalifah adalah mutlak meskipun khalifah termasuk fajir. Berdasarkan pertimbangan tersebut, orang yang tidak taat kepada iamm dianggap telah berlaku maksiat, dan apabila seseorang meninggal dalam keadaan tidak taat kepada pemimpin, ia termasuk mati dalam keadaan jahiliyah.
Dalam bidang muamalah, terutama tentang khiyar majlis, Iamma Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim meskipun telah terjadi ijab qabul. Apabila penjual dan pembeli masih berada dalam satu tempat dimana akad itu dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (sudah berpisah), maka akad sudah lazim. Alasannya ialah hadits Nabi Muhammad saw yang artinya: “setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah.”[9]
5.   Wafat Imam Ahmad bin Hanbal
Pada malam Rabu tanggal 2 Rabi’ul Awwal 241 H, Imam Ahmad jatuh sakit. Saat kondisinya kritis, banyak orang yang menjenguknya. Siang dan malam, orang-orang tidak berhenti menjenguknya. Demi keamanan, pejabat pemerintah mengatur kerumunan banyak orang di rumah Imam Ahmad, masjid, dan jalan-jalan. Kerumunan ini sempat membuat macet perekonomian di tempat tinggal Imam Ahmad. Setelah diperlihatkan air kencing Imam Ahmad, dokter yang merawat Imam Ahmad berkata “Ini adalah air kencing orang yang hatinya tercabik penderitaan dan kesedihan”. Masyarakat telah mengetahui betapa Imam Ahmad disiksa di penjara selama bertahun-tahun.
Hingga 9 hari lamanya, tepat pada hari Kamis, sakit Imam Ahmad semakin parah, raut kesedihan hinggap di seluruh wajah masyarakat. Ketika hari Jum’at menjelang siang tanggal 11 Rabi’ul Awwal, Imam Ahmad wafat pada usia 77 tahun. Orang-orang yang mendatangi jenazahnya tidak terhitung jumlahnya. Setelah dikuburkan, mereka berdesakan untuk mendatanginya. Untuk sampai ke makam Imam Ahmad, perlu waktu seminggu untuk ikut berdesakan. Peristiwa wafatnya Imam Ahmad ini berpengaruh besar. Diriwayatkan bahwa setelah wafatnya Imam Ahmad, ada sekitar 10.000 hingga 20.000 orang non muslim yang masuk agama islam.[10]
B.   Imam Dawud al-Dzahiri
1.    Kelahiran Imam Dawud al-Dzahiri
Madzhab Dzahiri dipelopori oleh Imam Dawud bin Ali al-Asfahani. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 200 H dan wafat pada tahun 270 H.. Nama aliran Imam Dawud dinisbatkan kepada gelar dirinya, yakni Dawud al-Dzahiri. Ia digelari al-Dzahiri karena pendapatnya tentang cara memahami al-Quran dan al-Sunnah dengan menggunakan makna dzahir.[11]
Imam Dawud pada mulanya penganut fanatik Madzhab Syafi’i, meskipun ayahnya penganut madzhab Hanafi. Ia tidak belajar langsung kepada Imam Syafi’i, tetapi kepada murid sahabatnya, karena ia baru berusia empat tahun ketika Imam Syafi’i wafat.
Ia pernah mempelajari hukum Islam madzhab Syafi’i di Baghdad, tetapi kemudian ia mengkritik madzhab yang ia pelajarinya itu. Ia pun melahirkan teori-teori baru dalam kajian hukumnya. Sasaran kritiknya ialah pemikiran rasionalis Imam Syafi’i yang bertumpu pada Qiyas dengan menolak Istihsan. Inilah yang dianggap tidak konsisten oleh Imam Dawud. Menurutnya, Qiyas dan istihsan adalah sama-sama rasionalitas.
Imam Dawud pun bergabung dengan pengajian Imam Ahmad untuk belajar hadits kepadanya. Namun ia pun diusir oleh imam Ahmad karena mengemukakan pendapat bahwa al-Quran adalah hal yang baru (muhdats). Imam Dawud berkata: “al-Qur’an yang ada di Lauh mahfudz bukan makhluk, sedangkan al-Qur’an yang ada di manusia adalah makhluk”. Setelah keluar dari pengajian Imam Ahmad, Imam dawud membuat pemikirannya sendiri. Imam Dawud belajar hadits kepada para pakar hadits di Baghdad dan Nisabur, Iran.
Imam Dawud memiliki banyak perbendaharaan hadits. Akan tetapi, tidak banyak ulama’ yang meriwayatkan hadits darinya. Penyebabnya adalah pendapatnya bahwa al-Qur’an di manusia itu makhluk. Pada masanya, pendapat demikian ini dianggap bid’ah, dan hadits tidak boleh diriwayatkan oleh orang yang melakukan bid’ah.[12]
2.    Guru dan Murid Imam Dawud al-Dzahiri
Di antara guru Imam Dawud adalah Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaur. Adapun murid-muridnya adalah:
a.    Abu Bakar Muhammad (putra Imam Dawud), ia wafat tahun 297 H. Salah satu kitabnya adalah  al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul.
b.    Abu Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi
c.    Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid Katsir bin Ghalib al-Thabari.[13]
Pemikiran Imam Dawud tentang al-Qur’an sulit diterima oleh kalangan ulama’. Karenanya, madzhab Dzahiri sulit untuk berkembang. Setelah hampir redup, madzhab Dzahiri dihidupkan kembali oleh murid Mas’ud bin Sulaiman, yaitu Abu Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi, yang dikenal dengan nama Ibnu Hazm.[14]
Ibnu Hazm sangat cerdas dalam merumuskan pemikiran hukum Islam. ia juga begitu gigih membela pemikiran gurunya. Usahanya diwujudkan dalam beberapa karyanya tentang hukum Islam, antara lain : al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, al-Fishal, dan al-Muhalla. Karena Ibnu Hazm berdomisili di Andalus, Spanyol, maka madzhab dzahiri berkembang pesat di sana. Ketika Islam di Spanyol jatuh, saat itu pula madzhab Dzahiri musnah. Penting dicatat bahwa madzhab Dzahiri juga pernah menjadi madzhab resmi di Marokko.
Selain memiliki pengikut yang cemerlang seperti Ibnu Hazm, Imam Dawud juga memili sejumlah karya, antara lain: Kitab al-Hujjah, Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilmi, Kitab al-Khushush wa al-‘Umum, Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal, Kitab Ibthal al-Taqlid, Kitab Ibthal al-Qiyas, dan Kitab Khabar al-Wahid. Karya-karya Imam Dawud saat ini sudah tidak bisa ditemukan lagi.[15]
3.    Pemikiran Hukum Islam Imam Dawud al-Dzahiri
Imam Dawud mengemukakan pemikirannya yang lebih menekankan pada pemahaman literalis. Ia berharap agar pemikirannya bisa dipraktekkan dalam kehidupan manusia. Pemikiran demikian disebutnya sebagai istidlal. Karena pendekatannya yang bertumpu pada makna teks sumber hukum yang tampak, maka madzhabnya populer dengan nama Madzhab Dzahiri.[16]
Secara garis besar, pemikiran Abu Dawud dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.    Al-Qur’an dan al-Sunnah tetap menjadi rujukan dan sumber hukum utama. Hanya saja, Imam dawud berkutat pada makna yang tampak darti teks-teks sumber hukum tersebut. Ia menghindari makna-makna yang lebih jauh, apalagi hasil penggalian rasional.
b.    Ijma’ sahabat Nabi bisa diambil berdasarkan hukum yang diwahyukan kepada Nabi dan disampaikan kepada sahabatnya. Pada masa sahabat, ijma’ dimungkinkan, karena kesepakatannya melibatkan sedikit orang dan wilayahnya tidak begitu luas. Dengan demikian, ijma’ sahabat Nabi tidak dipandang sebagai hasil penalaran. Adapun ijma’ generasi setelah sahabat Nabi tidak diakui.
c.    Qiyas tidak diterima oleh Imam Dawud, karena terkait dengan penalaran. Meski demikian, prinsip makna yang difahami (mafhum) dari teks al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana diajukan Imam Dawud sebagai pengganti Qiyas, ternyata tidak berbeda dengan Qiyas. Imam Dawud memberikan syarat bagi penggunaan Qiyas, yaitu alasan hukumnya (Illat) harus telah dijelaskan oleh teks sumber hukum al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan digali dari pemikiran manusia.
d.   Imam Dawud juga tidak setuju dengan sikap taqlid, yakni mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya. Menurutnya, setiap muslim harus bisa berpikir sendiri, setidaknya jika tidak mengerti, ia harus bertanya kepada orang yang telah memahami. Tidak hanya itu, pendapat yang menjadi jawaban harus mengandung dalil dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Pendapat tanpa dalil tidak boleh diikuti.[17]
4.    Fiqih Imam Dawud al-Dzahiri
Di antara pendapat Imam Dawud al-Dzahiri adalah sebagai berikut:[18]
a.    Seseorang yang junub boleh menyentuh al-Qur’an
Berkenaan dengan fiqih, Imam Abu Dawud berpendapat bahwa kitab al-Qur’an yang tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci ialah al-Qur’an yang berada di Lauh al-Mahfudz. Sedangkan al-Qur’an yang ditulis di kertas dan beredar di kalangan manusia adalah makhluk, ia (mushaf) boleh disentuh oleh orang yang sedang haidl atau junub.
b.    Pemimpin harus dari kalangan Quraisy
Imam Dawud al-Dzahiri berpendapat bahwa pemimpin haruslah dari kalangan Quraisy. Alasannya, adanya hadits politik yang sangat terkenal di kalanagna sunni yang dinilai shahih oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Selanjutnya, menurut Abu Dawud al-Dzahiri orang yang meninggal dalam keadaan tidak bai’at kepada imam, dianggap mati dalam keadaan jahiliyah, dan manusia tidak boleh taat kepada pemimpin yang memerintahkan melakukan maksiat.
c.    Bagian tubuh perempuan yang boleh dilihat ketika dipinang
Menurut Imam Dawud al-Dzahiri, seluruh tubuh perempuan yang dipinang boleh dilihat oleh laki-laki yang meminangnya, karena Nabi Muhammad saw menganjurkan laki-laki yangg meminang melihat perempuan yang dipinangnya secara mutlak, tanpa dirinci tentang anggota tubuh yang boleh dilihat.
d.   Menikah dengan perempuan yang dipinang laki-laki lain.
Dalam dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw melarang umat Islam meminang perempuan yang berada dalam pinangan orang lain, sebagaiamna seseorang tidak diperbolehkan membeli benda yang sudah dibeli oleh orang lain, karena umat Islam dengan lainnya adalah bersaudara.
Ulama’ berbeda pendapat dalam memahami cegahan yang terdapat dalam hadits tersebut. Menurut imam al-Khuthabi, cegahan yang terdapat dalam hadits tersebut adalah li ta’dib (bertujuan mendidik), bukan li tahrim (mengharamkan). Dalam pandangan jumhurul ulama’, menikah dengan perempuan yang sedang berada dalam pinangan laki-laki lain adalah sah, meskipun hukum peminangannya haram. Sedangkan menurut Imam Dawud al-Dzahiri, pernikahan tersebut dianggap fasakhm baik sudah melakukan persetubuhan maupun belum.




BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Imam Ahmad adalah tokoh pendiri madzhab Hambali. Ia bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani al-Mawarzi. Karya Imam Ahmad yang terkenal adalah “al-Musnad”. Kitab ini merupakan kumpulan hadits-hadits yang diterima Imam Ahmad sejak pertama kali ia menerima hadits pada umur 16 tahun pada tahun 180 H sampai akhir hayatnya.
Imam Ahmad bin Hanbal mulai memberikan fatwa ketika menginjak umur 40 tahun. Sebenarnya sebelum umur tersebut ia sudah memiliki kapasitas yang cukup untuk melakukan hal itu. Namun Imam Ahmad memiliki prinsip bahwa ia tidak akan meriwayatkan hadits atau berfatwa ketika gurunya masih hidup. Oleh karena itu, ia baru bersedia mengeluarkan fatwa pada tahun 204 H, tepat tahun ketika Imam Syafi’i meninggal.
Sedangkan Madzhab Dzahiri dipelopori oleh Imam Dawud bin Ali al-Asfahani. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 200 H dan wafat pada tahun 270 H.. Nama aliran Imam Dawud dinisbatkan kepada gelar dirinya, yakni Dawud al-Dzahiri. Ia digelari al-Dzahiri karena pendapatnya tentang cara memahami al-Quran dan al-Sunnah dengan menggunakan makna dzahir.
Imam Dawud pada mulanya penganut fanatik Madzhab Syafi’i, meskipun ayahnya penganut madzhab Hanafi. Ia tidak belajar langsung kepada Imam Syafi’i, tetapi kepada murid sahabatnya, karena ia baru berusia empat tahun ketika Imam Syafi’i wafat.



[1]Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 115.
[2]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t), h. 281.
[3]Ibid., h. 283.
[4]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h. 213-214.
[5]Ibid., h. 216.
[6]Jaih Mubarok, Sejarah, h. 118.
[7]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 222.
[8]Ibid., h. 218-220.
[9]Jaih Mubarok, Sejarah, h. 120-122.
[10] Ali Fikri, Kisah-Kisah Imam Madzhab, 174-175.
[11]Ibid., h. 123.
[12]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 225-226.
[13]Jaih Mubarok, Sejarah, h. 125.
[14] A Djazuli, Ilmu Fiqih (Jakarta: Kencana, 2006), h. 135.
[15]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 229-230.
[16]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh, h. 388.
[17]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 227-228.
[18]Jaih Mubarok, Sejarah, h. 128-130.

No comments:

Post a Comment

tinggalkan komentar ^^

Kepemilikan /Kata Ganti ضمير

 Dhomir Kepunyaan ( Dhomir Munfasil )   جَمْعٌ ‏مُثَنَّى ‏ مُفْرَدٌ ضمير هُمْ هُم...