BIOGRAFI IMAM AHMAD BIN
HANBAL DAN IMAM DAWUD AL-DZAHIRI SERTA KARAKTERISTIK PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
KEDUANYA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Islam sangat
berpengaruh terhadap setiap orang yang hidup di wilayah muslim, sehingga Islam
merupakan suatu “warisan” tersendiri yang sangat berarti. Prinsip-prinsip
ajaran Islam telah mewarnai kehidupan sosial sepanjang sejarah dan ke seluruh
pelosok dunia. Islam terus menerus berhasil mengemban misi pengentasan bagi
persoalan hidup manusia semenjak masyarakat Islam pertama kali di Madinah
dibawah pimpinan Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat yang
mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasulullah dan faham akan
al-Qur’an dan hukum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk
hukum untuk kaum muslimin. Karena penyebaran Islam ini tidak hanya melalui
penaklukan ke daerah-daerah saja, tetapi juga perlu adanya jerih payah dari
tangan para ulama dan fuqoha’ untuk menyebarkan ajaran dan prinsip agama Islam.
Dan penyiaran ajaran Islam oleh para mubaligh ini akan
selalu bertalian erat dengan para pakar-pakar mazhab dalam al-Fiqhul Islamy.
Sehingga tidak layak bagi kita bila tidak mencoba mengungkap bagaimana para
pakar mazhab mengawali da’watul Islam.
Kemudian, pada makalah ini kami mencoba menguraikan
tentang Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Dawud al-Dzahiri, yang biasa dikenal
oleh masyarakat luas sebagai seseorang yang ahli di bidang ilmu fiqh dan
sekaligus juga seorang ilmuwan hadist. Bagaimana tentang kehidupan sosial,
budaya serta politik pada masa mereka dan juga tentang istinbat-istinbat hukum
yang dipakainya untuk memecahkan masalah kemanusiaan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
biografi Imam Ahmad bin Hanbal?
2.
Bagaimana
karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal?
3.
Bagaimana
biografi Imam Dawud al-Dzahiri?
4.
Bagaimana
karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Dawud al-Dzahiri?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui biografi Imam Ahmad bin Hanbal?
2.
Untuk
mengetahui karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal?
3.
Untuk
mengetahui biografi Imam Dawud al-Dzahiri?
4.
Untuk
mengetahui karakteristik pemikiran hukum Islam Imam Dawud al-Dzahiri?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Imam
Ahmad bin Hanbal
1.
Kelahiran
Imam Ahmad bin Hanbal
Imam
Ahmad adalah tokoh pendiri madzhab Hambali. Ia bernama lengkap Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani al-Mawarzi. Kelahiran
Baghdad tahun 164 H dan meninggal pada tahun 241 H di Baghdad. Kedua orang
tuanya keturunan Arab dari kabilah Syaiban, ia berjumpa nasab dengan Nabi saw.
pada Nazar.[1]
Imam
Ahmad hidup di Baghdad yang merupakan pusat peradaban dan ilmu pengetahuan
nomor satu pada saat itu. Di sana, tinggal para pakar ilmu pengetahuan. Sejak
kecil Imam Ahmad menghafal al-Qur’an, belajar Bahasa Arab, hadits, dan Sejarah.
Ketika beranjak dewasa, Imam ahmad memilih untuk menekuni ilmu hadits yang
menuntutnya untuk mengembara ke berbagai kota untuk mencari hadits. Dalam
pengemabaraannya, Imam Ahmad juga mengkaji Fiqih. Karenanya ia dapat memadukan
hadits dan fiqih sekaligus.[2]
Sebagai
pecinta hadits, Imam Ahmad harus rela untuk mengembara ke berbagai kota, sebab
para ulama’ hadits telah terpencar ke kota-kota. Ia mulai mencari hadits ke
Baghdad selama tujuh tahun, pada tahun berikutnya ke Hijaz, kemudian ke Basrah,
Kufah, dan Yaman.[3]
Pengembaraan
mencari hadits tersebut dalam rangka bertemu dengan para perawi hadits yang
masih hidup. Ia pergi ke Basrah lima kali dan ke Hijaz lima kali juga. Pada
saat itu, ia bertemu dengan Imam Syafi’i di Masjidil Haram, Makkah. Kemudian ia
bertemu lagi dengannya di Baghdad ketika Imam Syafi’i menyebarkan madzhabnya. Pertemuannya
dengan Imam Syafi’i yang mementahkan fiqih rasional memberikan pengaruh pada
pemikiran Imam Ahmad. Ia pun mengembangkan fiqih tradisional dengan lebih
banyak mempergunakan al-Sunnah sebagai rujukan dalam memberikan fatwa.
Imam
Ahmad hidup amat sederhana, tidak mempunyai mata pencaharian tetap sebagaimana
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Sumber keuangan yang sering mendatangkan hasil
baginya adalah warisan rumah dan tanah serta peralatan penyulaman yang sering
disewakan. Seluruh waktunya dihabiskan untuk melakukan analisis terhadap
hadits-hadits Nabi, ia juga menyusun hadits berdasarkan sistematika sanad,
sehingga lahir karya besarnya “Musnad Ahmad bi hanbal”. Karya ini
ditulis dengan bantuan murid-muridnya, terutama Abdullah, putranya sendiri.[4]
Namun
perlu dicatat bahwa yang dicari dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad bukan sekedar
hadits-hadits Nabi, tetapi juga fatwa dan putusna hukum sahabat, serta fatwa
dan putusan hukum murid sahabat Nabi. Riwayat-riwayat tersebut disamping
merupakan sunnah juga fiqih yang sangat mendalam. Oleh karena itu,
riwayat-riwayat Imam Ahmad tidak terlepas dari fiqih dan fatwa. Bagaimanapun
juga ia telah belajar fiqih rasionalis kepada Imam Abu Yusuf yang memberikan
pengaruh yang cukup besar pada pemikiran hukumnya. Pemikirannya semakin matang
ketika ia berguru kepada Imam Syafi’i di Makkah dan Baghdad. Dengan keterpaduan
hadits dan fiqih dalam diri Imam Ahmad bin Hanbal, maka ia dipandang sebagai
ahli ijtihad , ahli hadits, bahkan ahli ilmu kalam, mengingat ia dianggap
sebagai pendiri aliran salaf.[5]
2.
Guru
dan Murid Imam Ahmad bin Hanbal
Diantara
guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah (1) Abu Yusuf, (2) Muhammad bin idris
al-Syafi’i, (3) Hasyim, (4) Ibrahim bin Sa’ad, (5) Sufyan bin ‘Uyainah.
Ahmad
bin hanbal mempunyai beberapa murid yang meneruskan dan mengembangkan
ajarannya, diantaranya:
a.
Shalih bin
Ahmad bin Hanbal (anak Ahmad bin Hanbal), w. 266 H.
b.
Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal (anak Ahmad bin hanbal), w. 290 H.
c.
Ahmad bin
Muhammad bin Hani Abu Bakr al-Atsrami (salah seorang teman Ahmad bin Hanbal),
w. 261 H.
d.
Abd al-Malik
bin Abd al-Hamid bin Mahran al-Maimanui (salah seorang sahabat Ahmad bin
Hanbal), w. 271 H.
e.
Ahmad bin
Muhammad bin al-Hajaj atau lebih dikenal dengan Abu Bakar al-Mawardzi, w. 275
H.
f.
Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, seorang pakar
bahasa Arab, w. 285 H.[6]
Karya
Imam Ahmad yang terkenal adalah “al-Musnad”. Kitab ini merupakan kumpulan
hadits-hadits yang diterima Imam Ahmad sejak pertama kali ia menerima hadits
pada umur 16 tahun pada tahun 180 H sampai akhir hayatnya. Imam Ahmad memang
tidak suka mencatat dan menulis, kecuali menulis hadits nabi. Al-Musnad yang
ditulis sepanjang hidupnya berserakan di berbagai bahan.
Pada
saat merasa ajalnya sudah dekat, Imam Ahmad mengumpulkan anak-anak dan murid
pilihannya. Ia mendiktekan kepada mereka hadits-hadits yang dicatatnya hingga
menjadi sebuah kumpulan catatan hadits, namun belum tersusun secara sistematis.
Karena itu, penyusun al-Musnad yang diterima hingga saat ini adalah putera Imam
Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Ahmad.[7]
3.
Pemikiran
Hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal
Imam
Ahmad bin Hanbal mulai memberikan fatwa ketika menginjak umur 40 tahun.
Sebenarnya sebelum umur tersebut ia sudah memiliki kapasitas yang cukup untuk
melakukan hal itu. Namun Imam Ahmad memiliki prinsip bahwa ia tidak akan
meriwayatkan hadits atau berfatwa ketika gurunya masih hidup. Oleh karena itu,
ia baru bersedia mengeluarkan fatwa pada tahun 204 H, tepat tahun ketika Imam
Syafi’i meninggal.
Imam
Ahmad bin Hanbal membuka dua majelis untuk kajian-kajiannya, yait di rumah dan
di masjid. Kajian di rumah diikuti oleh anak-anaknya sendiri dan para muridnya,
kajian di masjid diikuti oleh masyarakat umum dan para muridnya.
Pemikiran
Imam Ahmad bin Hanbal dalam bidang hukum Islam dapat dirangkum sebagai berikut:
a.
Al-Qur’an dan
al-Sunnah lebih diutamakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal daripada perkataan para
sahabat Nabi saw, termasuk pemahaman mereka terhadap kedua sumber hukum
tersebut. Sebagai contoh, Imam Ahmad melarang seorang muslim mewarisi harta
non-muslim sesuai dengan hadits Nabi. Ia tidak mengikuti pendapat Mu’adz bin
Jabal dan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpendapat sebaliknya.
b.
Pendapat
sahabat Nabi diterima oleh Imam Ahmad selama tidak terbantah oleh pendapat
sahabat lainnya. jika ada perbedaan pendapat, maka diadakan seleksi dengan
menganalisi kedekatannya terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah.
c.
Hadits Mursal
(perawi tingkat sahabat Nabi tidak disebutkan) dijadikan sebagai rujukan dalam
penyelesaian kasus hukum, padahal Imam Syafi’i sendiri sudah meninggalkannya,
karena hadits mursal tergolong hadits yang lemah. Bagi Imam Ahmad, meski
sahabat yang tidak disebut itu kurang populer atau diragukan oleh muridnya,
sahabat masih lebih baik daripada muridnya. Oleh sebab itu, sebelum melakukan
Qiyas, menurutnya lebih baik mengkaji hadits-hadits Nabi, termasuk hadits
mursal. Hadits yamg lemah diterima oleh Imam Ahmad, selama hadits tersebut
bukan merupakan hadits yang batil dan munkar, serta tidak diceritakan oleh
perawi yang diduga tidak dipercaya.
d.
Fatwa murid
sahabat Nabi juga diakui oleh Imam Ahmad. Menurutnya, jika seseorang tidak
menemukan hukum di dalam al-Qur’an, al-Sunnah, maupun fatwa sahabat Nabi, maka
ia wajib mengambil fatwa murid sahabat Nabi.
e.
Qiyas diambil
dalam keadaan terpaksa, yakni jika semua rujukan di atas tidak menyatakan
langsung tentang ketentuan-ketentuan hukum atau persoalan-persoalan yang
dihadapi. Cakupan Qiyas dalam madzhab hambali sangat luas, yakni mencakup
penggalian hukum di luar sumber hukum al-Quran dan al-Sunnah, serta pendapat
sahabat Nabi dan muridya, jadi, istihsan, mashlahah, dan sebagainya
disebut sebagai kelompok Qiyas.[8]
4.
Fiqih
Imam Ahmad bin Hanbal
Menurut
Imam Ahmad bin Hanbal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi
potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 dirham. Menurutnya, pencuri yang kadar
curiannya mencapai ¼ dinar harus dipotong tangan meskipun tidak sebanding
dengan 3 dirham. Begitu juga pencuri yang kadar curiannya mencapai 3 dirham
harus dipotong tangan meskipun tidak sebanding dengan ¼ dinar. Adapun nishab
bagi pencuri selain barang tambang adalah seharga ¼ dinar atau 3 dirham.
Dalam
bidang pemerintahan, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa khalifah harus
dari kalangan Quraisy. Sedangkan ketaatan kepada khalifah adalah mutlak
meskipun khalifah termasuk fajir. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
orang yang tidak taat kepada iamm dianggap telah berlaku maksiat, dan apabila
seseorang meninggal dalam keadaan tidak taat kepada pemimpin, ia termasuk mati
dalam keadaan jahiliyah.
Dalam
bidang muamalah, terutama tentang khiyar majlis, Iamma Ahmad bin Hanbal
berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim meskipun telah terjadi ijab
qabul. Apabila penjual dan pembeli masih berada dalam satu tempat dimana akad
itu dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (sudah
berpisah), maka akad sudah lazim. Alasannya ialah hadits Nabi Muhammad saw yang
artinya: “setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama
keduanya belum berpisah.”[9]
5.
Wafat Imam Ahmad bin
Hanbal
Pada malam Rabu
tanggal 2 Rabi’ul Awwal 241 H, Imam Ahmad jatuh sakit. Saat kondisinya kritis,
banyak orang yang menjenguknya. Siang dan malam, orang-orang tidak berhenti
menjenguknya. Demi keamanan, pejabat pemerintah mengatur kerumunan banyak orang
di rumah Imam Ahmad, masjid, dan jalan-jalan. Kerumunan ini sempat membuat
macet perekonomian di tempat tinggal Imam Ahmad. Setelah diperlihatkan air
kencing Imam Ahmad, dokter yang merawat Imam Ahmad berkata “Ini adalah air
kencing orang yang hatinya tercabik penderitaan dan kesedihan”. Masyarakat telah
mengetahui betapa Imam Ahmad disiksa di penjara selama bertahun-tahun.
Hingga 9 hari lamanya,
tepat pada hari Kamis, sakit Imam Ahmad semakin parah, raut kesedihan hinggap
di seluruh wajah masyarakat. Ketika hari Jum’at menjelang siang tanggal 11
Rabi’ul Awwal, Imam Ahmad wafat pada usia 77 tahun. Orang-orang yang mendatangi
jenazahnya tidak terhitung jumlahnya. Setelah dikuburkan, mereka berdesakan
untuk mendatanginya. Untuk sampai ke makam Imam Ahmad, perlu waktu seminggu
untuk ikut berdesakan. Peristiwa wafatnya Imam Ahmad ini berpengaruh besar.
Diriwayatkan bahwa setelah wafatnya Imam Ahmad, ada sekitar 10.000 hingga
20.000 orang non muslim yang masuk agama islam.[10]
B.
Imam
Dawud al-Dzahiri
1.
Kelahiran
Imam Dawud al-Dzahiri
Madzhab
Dzahiri dipelopori oleh Imam Dawud bin Ali al-Asfahani. Ia dilahirkan di
Baghdad pada tahun 200 H dan wafat pada tahun 270 H.. Nama aliran Imam Dawud
dinisbatkan kepada gelar dirinya, yakni Dawud al-Dzahiri. Ia digelari
al-Dzahiri karena pendapatnya tentang cara memahami al-Quran dan al-Sunnah
dengan menggunakan makna dzahir.[11]
Imam
Dawud pada mulanya penganut fanatik Madzhab Syafi’i, meskipun ayahnya penganut
madzhab Hanafi. Ia tidak belajar langsung kepada Imam Syafi’i, tetapi kepada
murid sahabatnya, karena ia baru berusia empat tahun ketika Imam Syafi’i wafat.
Ia
pernah mempelajari hukum Islam madzhab Syafi’i di Baghdad, tetapi kemudian ia
mengkritik madzhab yang ia pelajarinya itu. Ia pun melahirkan teori-teori baru
dalam kajian hukumnya. Sasaran kritiknya ialah pemikiran rasionalis Imam
Syafi’i yang bertumpu pada Qiyas dengan menolak Istihsan. Inilah yang dianggap
tidak konsisten oleh Imam Dawud. Menurutnya, Qiyas dan istihsan adalah
sama-sama rasionalitas.
Imam
Dawud pun bergabung dengan pengajian Imam Ahmad untuk belajar hadits kepadanya.
Namun ia pun diusir oleh imam Ahmad karena mengemukakan pendapat bahwa al-Quran
adalah hal yang baru (muhdats). Imam Dawud berkata: “al-Qur’an yang ada
di Lauh mahfudz bukan makhluk, sedangkan al-Qur’an yang ada di manusia adalah
makhluk”. Setelah keluar dari pengajian Imam Ahmad, Imam dawud membuat
pemikirannya sendiri. Imam Dawud belajar hadits kepada para pakar hadits di
Baghdad dan Nisabur, Iran.
Imam
Dawud memiliki banyak perbendaharaan hadits. Akan tetapi, tidak banyak ulama’
yang meriwayatkan hadits darinya. Penyebabnya adalah pendapatnya bahwa
al-Qur’an di manusia itu makhluk. Pada masanya, pendapat demikian ini dianggap bid’ah,
dan hadits tidak boleh diriwayatkan oleh orang yang melakukan bid’ah.[12]
2.
Guru
dan Murid Imam Dawud al-Dzahiri
Di
antara guru Imam Dawud adalah Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaur. Adapun
murid-muridnya adalah:
a.
Abu Bakar
Muhammad (putra Imam Dawud), ia wafat tahun 297 H. Salah satu kitabnya adalah al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul.
b.
Abu Muhammad
bin Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi
c.
Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir bin Yazid Katsir bin Ghalib al-Thabari.[13]
Pemikiran
Imam Dawud tentang al-Qur’an sulit diterima oleh kalangan ulama’. Karenanya,
madzhab Dzahiri sulit untuk berkembang. Setelah hampir redup, madzhab Dzahiri
dihidupkan kembali oleh murid Mas’ud bin Sulaiman, yaitu Abu Muhammad bin Ali
bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi, yang dikenal dengan nama Ibnu Hazm.[14]
Ibnu
Hazm sangat cerdas dalam merumuskan pemikiran hukum Islam. ia juga begitu gigih
membela pemikiran gurunya. Usahanya diwujudkan dalam beberapa karyanya tentang
hukum Islam, antara lain : al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, al-Fishal, dan al-Muhalla.
Karena Ibnu Hazm berdomisili di Andalus, Spanyol, maka madzhab dzahiri
berkembang pesat di sana. Ketika Islam di Spanyol jatuh, saat itu pula madzhab
Dzahiri musnah. Penting dicatat bahwa madzhab Dzahiri juga pernah menjadi
madzhab resmi di Marokko.
Selain
memiliki pengikut yang cemerlang seperti Ibnu Hazm, Imam Dawud juga memili
sejumlah karya, antara lain: Kitab al-Hujjah, Kitab al-Khabar al-Mujib li
al-‘Ilmi, Kitab al-Khushush wa al-‘Umum, Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal, Kitab
Ibthal al-Taqlid, Kitab Ibthal al-Qiyas, dan Kitab Khabar al-Wahid. Karya-karya
Imam Dawud saat ini sudah tidak bisa ditemukan lagi.[15]
3.
Pemikiran
Hukum Islam Imam Dawud al-Dzahiri
Imam
Dawud mengemukakan pemikirannya yang lebih menekankan pada pemahaman literalis.
Ia berharap agar pemikirannya bisa dipraktekkan dalam kehidupan manusia.
Pemikiran demikian disebutnya sebagai istidlal. Karena pendekatannya
yang bertumpu pada makna teks sumber hukum yang tampak, maka madzhabnya populer
dengan nama Madzhab Dzahiri.[16]
Secara
garis besar, pemikiran Abu Dawud dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Al-Qur’an dan
al-Sunnah tetap menjadi rujukan dan sumber hukum utama. Hanya saja, Imam dawud
berkutat pada makna yang tampak darti teks-teks sumber hukum tersebut. Ia
menghindari makna-makna yang lebih jauh, apalagi hasil penggalian rasional.
b.
Ijma’ sahabat
Nabi bisa diambil berdasarkan hukum yang diwahyukan kepada Nabi dan disampaikan
kepada sahabatnya. Pada masa sahabat, ijma’ dimungkinkan, karena kesepakatannya
melibatkan sedikit orang dan wilayahnya tidak begitu luas. Dengan demikian,
ijma’ sahabat Nabi tidak dipandang sebagai hasil penalaran. Adapun ijma’ generasi
setelah sahabat Nabi tidak diakui.
c.
Qiyas tidak
diterima oleh Imam Dawud, karena terkait dengan penalaran. Meski demikian,
prinsip makna yang difahami (mafhum) dari teks al-Qur’an dan al-Sunnah
sebagaimana diajukan Imam Dawud sebagai pengganti Qiyas, ternyata tidak berbeda
dengan Qiyas. Imam Dawud memberikan syarat bagi penggunaan Qiyas, yaitu alasan
hukumnya (Illat) harus telah dijelaskan oleh teks sumber hukum al-Qur’an
dan al-Sunnah, bukan digali dari pemikiran manusia.
d.
Imam Dawud
juga tidak setuju dengan sikap taqlid, yakni mengikuti pendapat
seseorang tanpa mengetahui dalilnya. Menurutnya, setiap muslim harus bisa
berpikir sendiri, setidaknya jika tidak mengerti, ia harus bertanya kepada
orang yang telah memahami. Tidak hanya itu, pendapat yang menjadi jawaban harus
mengandung dalil dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Pendapat tanpa dalil tidak boleh
diikuti.[17]
4.
Fiqih
Imam Dawud al-Dzahiri
Di
antara pendapat Imam Dawud al-Dzahiri adalah sebagai berikut:[18]
a.
Seseorang
yang junub boleh menyentuh al-Qur’an
Berkenaan
dengan fiqih, Imam Abu Dawud berpendapat bahwa kitab al-Qur’an yang tidak boleh
disentuh kecuali oleh orang yang suci ialah al-Qur’an yang berada di Lauh
al-Mahfudz. Sedangkan al-Qur’an yang ditulis di kertas dan beredar di
kalangan manusia adalah makhluk, ia (mushaf) boleh disentuh oleh orang
yang sedang haidl atau junub.
b.
Pemimpin
harus dari kalangan Quraisy
Imam
Dawud al-Dzahiri berpendapat bahwa pemimpin haruslah dari kalangan Quraisy.
Alasannya, adanya hadits politik yang sangat terkenal di kalanagna sunni yang
dinilai shahih oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Selanjutnya, menurut Abu
Dawud al-Dzahiri orang yang meninggal dalam keadaan tidak bai’at kepada
imam, dianggap mati dalam keadaan jahiliyah, dan manusia tidak boleh taat
kepada pemimpin yang memerintahkan melakukan maksiat.
c.
Bagian tubuh
perempuan yang boleh dilihat ketika dipinang
Menurut
Imam Dawud al-Dzahiri, seluruh tubuh perempuan yang dipinang boleh dilihat oleh
laki-laki yang meminangnya, karena Nabi Muhammad saw menganjurkan laki-laki
yangg meminang melihat perempuan yang dipinangnya secara mutlak, tanpa dirinci
tentang anggota tubuh yang boleh dilihat.
d.
Menikah
dengan perempuan yang dipinang laki-laki lain.
Dalam
dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw melarang umat Islam meminang perempuan yang
berada dalam pinangan orang lain, sebagaiamna seseorang tidak diperbolehkan
membeli benda yang sudah dibeli oleh orang lain, karena umat Islam dengan
lainnya adalah bersaudara.
Ulama’
berbeda pendapat dalam memahami cegahan yang terdapat dalam hadits tersebut.
Menurut imam al-Khuthabi, cegahan yang terdapat dalam hadits tersebut adalah li
ta’dib (bertujuan mendidik), bukan li tahrim (mengharamkan). Dalam
pandangan jumhurul ulama’, menikah dengan perempuan yang sedang berada dalam
pinangan laki-laki lain adalah sah, meskipun hukum peminangannya haram.
Sedangkan menurut Imam Dawud al-Dzahiri, pernikahan tersebut dianggap fasakhm
baik sudah melakukan persetubuhan maupun belum.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Imam Ahmad adalah tokoh pendiri madzhab Hambali. Ia bernama
lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani
al-Mawarzi. Karya Imam Ahmad yang terkenal adalah “al-Musnad”. Kitab ini merupakan
kumpulan hadits-hadits yang diterima Imam Ahmad sejak pertama kali ia menerima
hadits pada umur 16 tahun pada tahun 180 H sampai akhir hayatnya.
Imam Ahmad bin Hanbal mulai memberikan fatwa ketika
menginjak umur 40 tahun. Sebenarnya sebelum umur tersebut ia sudah memiliki
kapasitas yang cukup untuk melakukan hal itu. Namun Imam Ahmad memiliki prinsip
bahwa ia tidak akan meriwayatkan hadits atau berfatwa ketika gurunya masih
hidup. Oleh karena itu, ia baru bersedia mengeluarkan fatwa pada tahun 204 H,
tepat tahun ketika Imam Syafi’i meninggal.
Sedangkan Madzhab
Dzahiri dipelopori oleh Imam Dawud bin Ali al-Asfahani. Ia dilahirkan di
Baghdad pada tahun 200 H dan wafat pada tahun 270 H.. Nama aliran Imam Dawud
dinisbatkan kepada gelar dirinya, yakni Dawud al-Dzahiri. Ia digelari
al-Dzahiri karena pendapatnya tentang cara memahami al-Quran dan al-Sunnah
dengan menggunakan makna dzahir.
Imam Dawud pada mulanya penganut fanatik Madzhab Syafi’i,
meskipun ayahnya penganut madzhab Hanafi. Ia tidak belajar langsung kepada Imam
Syafi’i, tetapi kepada murid sahabatnya, karena ia baru berusia empat tahun
ketika Imam Syafi’i wafat.
[1]Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000), h. 115.
[2]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi Tarikh
al-Madzahib al-Fiqhiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t), h. 281.
[3]Ibid., h. 283.
[4]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam
(Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h. 213-214.
[5]Ibid., h. 216.
[6]Jaih Mubarok, Sejarah, h. 118.
[7]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 222.
[8]Ibid., h. 218-220.
[9]Jaih Mubarok, Sejarah, h. 120-122.
[11]Ibid., h. 123.
[12]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi,
h. 225-226.
[13]Jaih Mubarok, Sejarah, h. 125.
[14] A Djazuli, Ilmu Fiqih (Jakarta: Kencana, 2006), h. 135.
[15]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 229-230.
[16]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh, h. 388.
[17]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi, h. 227-228.
[18]Jaih Mubarok, Sejarah, h. 128-130.
No comments:
Post a Comment
tinggalkan komentar ^^