WELCOME TO Hiel'S BLOGGER

Wednesday, March 12, 2014

Paradigma Hubungan Agama Islam dengan Ilmu pengetahuan dan teknologi


KATA PENGANTAR
                                                           

Assalamu'alaikum Wr.Wb
            Dengan mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan kami semua kesehatan lahiriah dan batiniah, sehingga kami mempunyai kesempatan untuk dapat menyelesaikan makalah TPKI yang membahas tentang pemikiran ini dapat memenuhi tugas karya ilmiah semester gasal tahun 2011-2012.
Makalah ini penulis susun menurut uraian-uraian yang dipelajari di Perguruan Tinggi, makalah ini juga dilengkapi soal evaluasi dan tujuannya. Akhirnya saran dan kritik penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami sadar bahwa sebagai manusia yang masih jauh dari kata sempurna dan pastinya tidak luput dari kesalahan. Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca dan semoga ALLAH SWT selalu memberikan petunjuk dan hidayah-NYA. AMIN
Wassalamu'alaikum Wr.Wb









DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………...  2
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………... 3              
BAB I             : Pendahuluan
Ø Latar belakang………………………………………...........................4
Ø Rumusan masalah…………………………………….........................5
Ø Tujuan …………………………………………….….........................5
BAB II            : Pembahasan Masalah
Ø Pengertian
Ø Paradigma Hubungan Agama Islam dengan Ilmu pengetahuan dan teknologi
Ø Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ditinjau dari paradigma aqidah islam dan syariah islam
BAB III          : Penutup
Ø Kesimpulan……………………………………………...........
Ø Daftar pustaka












BAB I
PENDAHULUAN

I.          Latar Belakang
Dalam peradaban manusia, kini tekhnologi informasi berkembang dengan sangat baik. kemajuan teknologi itupun semakin menjalar, perangkat teknologi saat ini tidak hanya dipakai oleh kalangan tertentu tetapi sudah sangat meluas dari lingkungan kota hingga lingkungan pedesaan, dimana semuanya mungkin sudah dapat mengerti dasar dasar pemakaian alat tekhnologi informasi dengan mudahnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat. Tapi di sisi lain, tak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.
Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian.
Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk ditengok kembali. Sedangkan di agama islam sendiri telah diperintahkan untuk mencari ilmu dan menambah ilmu pengetahuan selama ilmu itu tidak melenceng dari agama islam.

II.          Rumusan Masalah
·           Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin?
·           Sejauh manakah agama Islam dapat berperan dalam mengendalikan perkembangan teknologi modern?



III.          Tujuan
Tulisan ini bertujuan menjelaskan peran Islam dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologi tersebut agar IPTEK dalam perkembangannya tetap sesuai dengan Al Quran dan Hadits sehingga dalam kehidupan, IPTEK tidak disalahgunakan.




























BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

A.      Pengertian
Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific method) .Sedang teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari.[1] Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek. Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan muamalah dan uqubat/sistem pidana) .[2]

B.       Paradigma Hubungan Agama Islam dengan Ilmu pengetahuan dan teknologi
Manusia tidak hanya diminta tuhan untuk membaca atau mempelajari alam tetapi juga manusia dan hubungan sosialnya bahkan juga dengan ilmu-ilmu lainnya. bahkan setelah kita membaca maka kita diperintahkan untuk merenng kembali serta menyadari bahwa semua itu adalah bagian dari tuhan bukan terpisah sebagai ilmu pengetahuan saja, semata-mata kemajuan teknologi, atau material saja. jika manusia tak mampu memberdayakan kemampuan nalar (reasoning power) dalam dirinya, maka manusia dalam keadaan terputus (dari mat rantai kehidupan) dan menjadi kehilangan arah.[3]
Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua) yaitu yang Pertama adalah menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan sedangkan yang  kedua adalah menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma :
Pertama,
 paradigma sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan. Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai jalan keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan penemuan ilmu pengetahuan modern. Semula ajaran Kristen dijadikan standar kebenaran ilmu pengetahuan. Tapi ternyata banyak ayat Bible yang berkontradiksi dan tidak relevan dengan fakta ilmu pengetahuan. Contohnya, menurut ajaran gereja yang resmi, bumi itu datar seperti halnya meja dengan empat sudutnya. Padahal faktanya, bumi itu bulat berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari hasil pelayaran Magellan. Kalau konsisten dengan teks Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu harus dikalahkan oleh teks Bible.  Ini tidak masuk akal dan problematis. Maka, agar tidak problematis, ajaran Kristen dan ilmu pengetahuan akhirnya dipisah satu sama lain dan tidak boleh saling intervensi.
Kedua,
Paradigm sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan:
“Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.”
(Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat).[4]
Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya Materialisme Dialektis. Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung benih perkembanganitu sendiri.
Ketiga,
 Paradigm Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam “yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits-- menjadi qaidah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia.[5] Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. Al-alaq : 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam.
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu. Dalam firman Allah SWT:
وَللّه ِمَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْض ِوَكَانَ اللّه ُبِكُلّ ِشَيْءٍ مُّحِيطًا
“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. an-Nisaa` : 126).
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah Saw (w. 632 M) yang meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa Rasulullah Saw terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, “Gerhana matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah Saw segera menjelaskan:
“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya” [HR. al-Bukhari dan an-Nasa`i] [6]
Islam dilarang memepelajari ilmu astrologi yang disebutkan bahwa ilmu itu tidak diperbolehkan karena mengandung unsur syirik. seperti yang disebutkan juga dalam sebuah hadist yang mempelajari bintang-bintang. Seperti hadist nabi sebagai yaitu berikut:
“Barang siapa yang mempelajari satu ilmu dari bintang-bintang (astrologi), maka ia telah mempelajari satu bagian dari sihir. Sihirnya akan bertambah dengan bertambahnya ilmu mereka” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah melalui Ibn Abbas)[7]
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam al-Qur`an:
إِنَّفِي خَلْقِ السَّمَاوَات ِوَالأَرْضِ وَاخْتِلاَف ِاللَّيْل ِوَالنَّهَارِ لآ يَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Al-Imran : 190).
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 -1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi.[8]

C.      Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ditinjau dari paradigma aqidah islam dan syariah islam
Pertama,
 menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qâidah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Jika kita menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek, bukan berarti bahwa ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya, harus didasarkan pada ayat tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang cocok dengan fakta sains, itu adalah bukti keluasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu seperti pada surat an-Nisaa` :126 dan surat ath-Thalaq : 12, bukan berarti konsep iptek harus bersumber pada ayat atau hadis tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada ayat yang menjelaskan bahwa matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (Qs. Nuh : 16), bahwa langit (bahan alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan galaksi-galaksi tercipta dari kondensasi (pemekatan) gas tersebut (Qs. Fushshilat : 11-12), dan seterusnya. Ada sekitar 750 ayat dalam al-Qur`an yang semacam ini.[9]  Ayat-ayat ini menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah sehingga meliputi segala sesuatu, dan menjadi tolok ukur kesimpulan iptek, bukan berarti bahwa konsep iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat tertentu.
Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek bukanlah bahwa konsep iptek wajib bersumber kepada al-Qur`an dan al-Hadits, tapi yang dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada al-Qur`an dan al-Hadits. Ringkasnya, al-Qur`an dan al-Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep iptek yang dikembangkan, harus sesuai dengan al-Qur`an dan al-Hadits, dan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits itu. Jika suatu konsep iptek bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits, maka konsep itu berarti harus ditolak. Misalnya saja Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari organisme sederhana yang selama jutaan tahun berevolusi melalui seleksi alam menjadi organisme yang lebih kompleks hingga menjadi manusia modern sekarang. Berarti, manusia sekarang bukan keturunan manusia pertama, Nabi Adam AS, tapi hasil dari evolusi organisme sederhana. Ini bertentangan dengan firman Allah SWT yang menegaskan, Adam AS adalah manusia pertama, dan bahwa seluruh manusia sekarang adalah keturunan Adam AS itu, bukan keturunan makhluk lainnya sebagaimana fantasi Teori Darwin [10]. Firman Allah SWT:
“(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina (mani).” (Qs. as-Sajdah : 7).
Ilmu pengetahuan memang tidak dimaksudkan menjadi penentu keimanan seseorang, karena muslim mempercayai semua kandungan Alquran dan hadis, tanpa peduli dengan apa komentar para ilmuwan. Namun demikian, para peneliti modern menemukan banyak sekali kenyataan ilmiah yang tak diketahui sebelumnya tetapi justru telah disinggung oleh Nabi Muhammad saw. dan disebutkan dalam Alquran dan hadis pada empat belas abad yang lalu.
Kenyataan-kenyataan ilmiah itu tidak diuraikan oleh Nabi saw. kepada umat pada masa beliau karena dua alasan. Pertama, mereka tak akan memahaminya. Kedua, Nabi saw. tidak menjelaskan makna ayat-ayat atau hadis-hadis itu sehingga bisa menjadi bukti untuk masa-masa selanjutnya ketika para ilmuwan mampu menggali dan membuktikan petunjuk-petunjuk di dalamnya. Penjelasan terhadap ayat dan hadis tersebut diserahkan kepada generasi selanjutnya agar mereka dapat mengakui keagungan Nabi saw. dan pengetahuan menakjubkan yang Allah karuniakan kepadanya dalam bentuk Alquran dan hadis. Ketika para peneliti nonmuslim melakukan “penemuan” dengan perangkat pengetahuan ilmiah dan teknologi maju, itu merupakan bukti yang sangat kuat atas kebenaran Alquran dan hadis, yang telah menyinggungnya pada belasan abad sebelum kenyataan semacam itu berhasil diketahui.
Jika kenyataan ilmiah itu ditemukan oleh orang-orang Islam, orang mungkin akan berspekulasi bahwa penemuan tersebut cumalah upaya menyokong keyakinan mereka sendiri. Namun, ternyata orang-orang nonmuslim membenarkan fakta-fakta ilmiah itu tanpa tekanan siapa pun, dengan membuktikan kenyataan yang telah disebutkan oleh Nabi saw. 1400 tahun yang silam. Melalui penelitian mereka sendiri, Allah membimbing orang-orang nonmuslim untuk menyadari bahwa Nabi saw. telah berkata benar ketika menyebutkan fakta-fakta ilmiah itu, dan diharapkan mereka berkesimpulan bahwa beliau juga berkata benar ketika menyampaikan risalah Islam.
Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi Saw menerapkan penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari tradisi kaum Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi Saw juga pernah memerintahkan dua sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu penduduknya adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar bin Khatab pernah mengambil sistem administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari kaum kafir.
Kedua,
Menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits yang mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan iptek) dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman Allah dalam surat An-nisaa’:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّىَ  يُحَكِّمُكَ فِيمَاشَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَيَجِدُوا ْفِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْت َوَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan”(Qs. an-Nisaa` : 65).
اتَّبِعُواْمَا أُنزِلَإِلَيْكُممِّن رَّبِّكُمْوَلاَتَتَّبِعُواْمِن دُونِهِأَوْلِيَاءقَلِيلاًمَّاتَذَكَّرُون
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya” (Qs. al-A’raaf : 3).
Sabda Rasulullah Saw:
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim].
Kontras dengan ini, adalah apa yang ada di Barat sekarang dan juga negeri-negeri muslim yang bertaqlid dan mengikuti Barat secara membabi buta. Standar pemanfaatan iptek menurut mereka adalah manfaat, apakah itu dinamakan pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama sesuatu itu bermanfaat, yakni dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap benar dan absah untuk dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam ajaran agama.
Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa orang Barat mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan, dan bertentangan dengan nilai agama. Misalnya menggunakan bom atom untuk membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat moralitas (misalnya meletakkan embrio pada ibu pengganti), mengkloning manusia (berarti manusia bereproduksi secara seksual, bukan seksual), mengekploitasi alam secara serakah walaupun menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan seterusnya.
Karena itu, sudah saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan diganti dengan standar yang benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik segala ilmu yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara hakiki bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara hakiki berbahaya bagi manusia. Standar itu adalah segala perintah dan larangan Allah SWT yang bentuknya secara praktis dan konkret adalah syariah Islam.


























BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran Islam yang utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma Islam, dan bukannya paradigma sekuler, yang seharusnya diambil oleh umat Islam dalam membangun struktur ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam mengaplikasikan iptek.
Jika dua peran ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik, insyaallah akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat manusia. Mari kita simak firman-Nya:
وَلَوْأَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمبَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ وَلَكِن كَذَّبُوا ْفَأَخَذْنَا هُم بِمَا كَانُوا ْيَكْسِبُونَ
“Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
(Qs. al-A’raaf : 96).











DAFTAR PUSTAKA
Ø  Suriasumantri, Jujun S.1986. Ilmu Dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. Jakarta : PT Gramedia
Ø  An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Hizbut Tahrir.
Ø  Ramly, Andi Muawiyah. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx [Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis]. Yogyakarta : LKiS.
Ø  Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Bagil : Al-Izzah.
Ø  Bahreisj, Hossein. 1995. Menengok Kejayaan Islam. Surabaya : PT. Bina Ilmu
Ø  Zallum, Abdul Qadim. 2001. Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambil, Menerapkan, dan Menyebarluaskannya. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah.
Ø  M.Quraish Shihab.Dia Dimana-mana.Lentera Hati,Jakarta,2004
Ø  Ary Ginanjar Agustin,The ESQ Way 165,ARGA publishing,Jakarta.2001.
Ø  Drs. Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar,cx Rajawali Pers, Jakarta,2003.



[1] Suriasumantri, Jujun S..Ilmu Dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. Jakarta : PT Gramedia,1986.
[2] An-Nabhani, Taqiyuddin.Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Hizbut Tahrir. 2001
[3] Ary Ginanjar Agustin,TheESQ Way 165,ARGA publishing,Jakarta.2001.
[4] Ramly, Andi Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx [Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis]. Yogyakarta : LKiS. 2000
[5] An-Nabhani, Taqiyuddin.Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Hizbut Tahrir. 2001
[6] Al-Baghdadi, Abdurrahman.Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Bagil : Al-Izzah. 1996
[7],M.Quraish Shihab.DiaDimana-mana.Lentera Hati,Jakarta,2004
[8] Bahreisj, Hossein. Menengok Kejayaan Islam. Surabaya : PT. Bina Ilmu.1995.
[9] Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Bagil : Al-Izzah.
[10] Zallum, Abdul Qadim. Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambil, Menerapkan, dan Menyebarluaskannya. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. 2001.

Kepemilikan /Kata Ganti ضمير

 Dhomir Kepunyaan ( Dhomir Munfasil )   جَمْعٌ ‏مُثَنَّى ‏ مُفْرَدٌ ضمير هُمْ هُم...