WELCOME TO Hiel'S BLOGGER

Thursday, December 13, 2012

ILMU SEBAGAI PRODUK

Filsafat Ilmu
ILMU SEBAGAI PRODUK
BAB I
A. Pendahuluan
Ilmu sebagai produk berarti ilmu merupakan kumpulan pengetahuan sistematis yang merupakan produk dari aktivitas penelitian dengan metode ilmiah sebagai sistem pengetahuan. Ilmu menurut salah satu maknanya adalah pengetahuan. Pengetahuan itu mengenai sesuatu pokok soal (objek materi) dan berdasarkan suatu titik pusat minat (objek formal). Objek formal dan objek materi ini kemudian membentuk sasaran yang sesuai dengan ilmu yang bersangkutan.[1]
Sebagai sistem pengetahuan atau pengetahuan sistematis, ilmu memiliki ciri- ciri empiris, sistematis, obyektif, analitis, dan verifikatif.[2] Ciri empiris mengandaikan pengamatan (observasi) atau percobaan (eksperimen). Ilmu berbeda dari pengetahuan karena ciri sistematis, dan berbeda dari filsafat karena ciri empirisnya.
Ciri sistematis berarti bahwa kumpulan pengetahuan-pengetahuan itu memiliki hubungan-hubungan ketergantungan dan teratur. Ciri obyektif ilmu berarti bahwa pengetahuan ilmiah bebas dari prasangka perseorangan (personal bias) dan pamrih pribadi. Ilmu arus berisi data yang menggambarkan secara terus terang gejala-gejala yang ditelaahnya. Ilmu berciri analitis artinya ilmu melakukan pemilahan-pemilahan atas obyek materialnya ke dalam bagian-bagian yang terperinci untuk memahami berbagai  sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian tersebut. Ciri verifikatif ilmu berarti bahwa tujuan yang ingin dicapai ilmu ialah kebenaran ilmiah. Kebenaran ini dapat berupa kaidah-kaidah atau azas-azas yang universal mengenai objek material yang bersangkutan. Dengan demikian, manusia dapat membuat ramalan dan menguasai alam.[3]
Ilmu sebagai produk menggambarkan hasil-hasil yang berupa karya ilmiah, teori, paradigma, teknologi. Sehingga ilmu sebagai produk adalah bebas nilai menurut sebagian ahli. Adapun menurut sebagian lainnya ilmu tidaklah bebas dari nilai etik yang menggiringnya menuju produk yang dapat memberikan kemanfaatan kepada kemanusiaan, bukan malah sebaliknya.
B. Landasan Ilmu
Dalam pembahasan filsafat ilmu kita mengenal dimensi-dimensi filosofis sebagai landasan ilmu :
1. Ontologi, yang berusaha untuk menjawab pertanyaan apakah obyek ilmu pengetahuan itu ? Hal ini berarti tiap ilmu harus mempunyai objek penelaahan yang jelas karena diversivikasi ilmu terjadi atas dasar spesifikasi objek telaahannya, maka tiap disiplin ilmu mempunyai landasan ontologi yang berbeda.[4]
Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan objek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris, karena objeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan dengan agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, selalu berorientasi terhadap dunia empiris.[5]
Landasan ontologi ilmu berhubungan dengan hakikat ilmu pengetahuan, yaitu bahwa ilmu itu adalah pengetahuan yang bersifat rasional, reflektif, dan dapat dibuktikan kebenarannya dalam realitas.[6] Maka, sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris tidak dapat diklasifikasikan sebagai suatu ilmu. Lingkup ilmu hanya sebatas pengalaman manusia saja, karena pada hakikatnya ilmu  adalah hasil kemampuan manusia dalam mencermati gejala-gejala alam yang dikaji secara ilmiah sehingga secara ontologis, ilmu pengetahuan harus memiliki aspek rasional dan empiris.[7]
Adapun ontologi secara umum membahas tentang yang ada, yaitu bahwa obyek ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang ada dan terbagi menjadi tiga, ada dalam pikiran, ada dalam kemungkinan, dan ada dalam kenyataan. Ada dalam fikiran seperti angan-angan, ada dalam kemungkinan seperti fikiran kita yang masih belum teraktualisasikan dalam sebuah perbuatan, dan ada dalam kenyataan yang bisaabstrak atau konkrit. Abstrak seperti adanya Tuhan,  jiwa dan lain sebagainya, dan konkrit seperti logika dan seni menarik kesimpulan.
Dari titik ini dapat kita amati bahwa ruang lingkup ilmu ditinjau dari landasan ontologinya ternyata lebih sempit daripada tinjauan ontologi secara umum karena hanya terfokus kepada aspek-aspek rasional dan empiris saja. Tentunya hal ini yang kemudian menjadi sebuah kelemahan filsafat ilmu versi Barat karena memutus hubungan antara alam fisik dan metafisik. Berbeda dengan filsafat ilmu versi islam yang menjadikan alam fisika sebagai tanda bagi keberadaan alam metafisika.[8]
2. Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain epistemologi adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda. Hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan menurut syarat keilmuan, yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran di atas segala-galanya.[9] Secara umum metode ilmiah merupakan proses kegiatan induksi-deduksi-verivikasi.[10]
3. Aksiologi, yang berusaha menjawab pertanyaan untuk apa ilmu itu ?[11] Landasan ini berusaha untuk melihat yang menjadi sumbangan ilmu untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.[12]
Dasar aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dengan mempelajari atom kita dapat memanfaatkannya untuk sumber energi bagi keselamatan manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia.[13]
C. Obyek Ilmu
Objek adalah sasaran pokok atau tujuan penyelidikan keilmuan baik itu objek material dan objek forma. Objek material ilmu adalah hal atau bahan yang menjadi sasaran suatu ilmu pengetahuan, sedangkan objek forma ilmu adalah sudut pandang pembahasan suatu ilmu pengetahuan.[14]
Objek material terdiri dari yang kongkrit dan abstrak. Objek kongkrit adalah objek yang secara fisik dapat terlihat dan terasa oleh indera, adapun objek abstrak adalah objek yang berupa ide-ide, paham, aliran, sikap dan sebagainya.[15]
Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain.[16]
Kedua Objek ilmu ini memiliki keterkaitan. Misalnya ilmu tafsir dan ilmu qiraat yang kedua macam ilmu pengetahuan itu mempunyai objek material yang sama yaitu al-Qur’an, akan tetapi obyek formalnya berbeda. Ilmu tafsir membahas al-Qur’an dari sudut pembahasan makna yang tersembunyi dari al-Qur’an sedangkan ilmu qiraat membahas al-Qur’an dari sudut pembahasan macam dan ragam bacaan dialek al-Qur’an. Oleh karena itu obyek material  ilmu pengetahuan dapat sama sedangkan obyek formalnya pasti berbeda.
D. Sarana Berfikir Ilmiah
Sarana ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuan berdasarkan metode ilmiah.[17] Sarana ilmiah juga adalah alat bantu dalam proses metode ilmiah.[18] Adapun sarana berfikir ilmiah adalah bahasa, matematika, logika, dan statistika.
1. Bahasa
Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama yakni, pertama, sebagai sarana komunikasi antar manusia, dan kedua, sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut. Bahasa adalah unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di dalam jaringan kebudayaan. Pada waktu yang sama bahasa merupakan sarana pengungkapan nilai-nilai budaya, pikiran, dan nilai-nilai kehidupan kemasyarakatan.
Yang dimaksud dengan bahasa sebagai sarana berfikir ilmiah disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan.[19] Jika pengetahuan yang berupa rangkaian pemikiran konseptual itu dapat dipahami dan diaktualisasikan, tentunya implikasinya adalah pesatnya kemajuan yang akan dicapai oleh manusia.[20]
Bahasa ilmiah berbeda dengan bahasa umum yang memungkinkan adanya makna ganda dan adanya tambahan nilai rasa yang bersifat konotasi, refleksi, dan emosi sedangkan ragam bahasa ilmiah bersifat khusus karena menuntut ketunggalan makna dan interpretasi.[21] Perbedaan lainnya adalah bahwa bahasa ilmiah memiliki isi konseptual yang sewenang-wenang (arbitrer), adapun bahasa umum bersifat kebiasaan sehari-hari,  maka makna tidak perlu didefinisikan.[22]
Sifat-sifat yang diperlukan dalam komunikasi ilmiah adalah pertama bebas dari unsur emotif agar komunikasi ilmiah berjalan dengan baik. Kedua reproduktif  artinya bila si pengirim komunikasi menyampaikan suatu informasi yang katakanlah x, maka si penerima komunikasi harus menerima informasi yang berupa x pula. Informasi x yang diterima harus merupakan reproduksi yang benar-benar sama dari informasi x yang dikirimkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah apa yang dinamakan sebagai suatu salah informasi. Ketiga obyektif dan eksplisit oleh karena itu istilah-istilah yang digunakan harus didefinisikan untuk menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh istilah tersebut.[23]
Namun bahasa tidaklah cukup memadai untuk menjadi satu-satunya sarana berfikir ilmiah, hal ini dikarenakan pereduksian makna yang hendak dilakukan oleh ilmuan hanya sampai pada batas tertentu, maka diperlukan sarana berfikir ilmiah lainnya yang berupa matematika, logika, dan statistika.[24]
2. Matematika dan Logika
Matematika dan logika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif[25] sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Yang dimaksud dengan deduktif adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu system pernyataan yang runtun.[26] Matematika adalah pengetahuan sebagai sarana berpikir deduktif yang dalil-dalilnya tidak perlu dibuktikan kebenarannya melalui penyelidikan empirik, melainkan melalui penjabaran dalil-dalil yang sudah diperoleh sebelumnya, dan yang terakhir ini pada gilirannya juga dibuktikan kebenarannya dari dalil-dalil yang sudah ada sebelumnya, dan begitus seterusnya. Dalil-dalil matematik dibuktikan kebenarannya berdasarkan atas dalil-dalil yang lain, dan bukannya berdasarkan atas pengamatan. Dalil-dalil itu tentunya adalah dalili-dalil yang diterima kebenarannya tanpa bukti, yaitu aksioma-aksioma atau postulat-postulat.[27]
Matematika memiliki beberapa sifat yaitu, pertama, Jelas, spesifik dan informatif. Kedua, tidak menimbulkan konotasi emosional. Dan ketiga, bersifat kuantitatif.
Meskipun matematika adalah suatu ilmu yang tidak bersifat empiris, namun dengan caranya sendiri ia terikat dengan tahap inderawi. Ke non-empirisan matematika tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa ilmu itu berpangkal pada segi-segi empiris tertentu dari realitas. Biarpun orang Yunani yakin bahwa matematika mereka betul-betul mempelajari realitas, namun mereka insaf pula bahwa cara mempelajari realitas itu berlainan dengan cara yang dipakai ilmu pengetahuan empiris. Dalam perkembangannya, matematika telah melepaskan diri dari ikatan realitas empiris, namun herannya bahwa matematika dalam bentuk abstrak masih tetap sangat penting bagi ilmu-ilmu empiris.[28]
Matematika adalah bentuk logika paling tinggi yang pernah diciptakan oleh pemikiran manusia. Matematika juga menyediakan bagi ilmu-ilmu lainnya, sistem logika dan berbagai segi kegiatan keilmuan.[29] Sebagai bahasa, matematika memiliki sifat artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.[30]
Namun menurut KurtFriedrich Gödel walaupun matematika memiliki bagunan yang kuat namun ia masih memerlukan unsur lain yaitu logika untuk memperbaiki problem dan kontradiksi yang kadang terjadi di dalam permasalahan matematika dan tidak dapat dipecahnya oleh teori matematika sendiri. Teori Gödel ini lebih dikenal dengan teori incompleteness.[31]
Matematika dan logika ibarat kakak dan adik. Bertrand Russell menyatakan bahwa perbedaan logika dan matematika adalah bahwa logika adalah anak kecil dari matematika, sedangkan matematika adalah masa dewasa dari logika.[32] Dari sini dapat kita nyatakan bahwa hubungan antara matematika dan logika begitu erat sehingga antara satu dan lainnya seperti kesatuan yang tak terpisahkan.
3. Statistika
Statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif[33] untuk mencari konsep-konsep umum yang bisa diandalkan.[34] Yang dimaksud dengan induksi adalah metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.[35] Statistika ialah pengetahuan sebagai sarana berpikir induktif yang memiliki sifat dapat digunakan untuk menguji tingkat ketelitian dan untuk menentukan hubungan kausalitas antar faktor terkait.
Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan, dan kesimpulannya mungkin benar mungkin salah. Penalaran induktif memiliki beberapa proses yang dapat disusun sebagai berikut :
a. Observasi dan eksperimen. Langkah pertama adalah mengumpulkan fakta-fakta khusus. Metode khusus yang digunakan adalah observasi dan eksperimen.
b. Hipotesis ilmiah. Langkah kedua dalam induksi ialah perumusan hipotesis. Hipotesis adalah suatu dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih lanjut.
c. Verifikasi dan pengukuhan. Langkah ketiga dalam penalaran induktif adalah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum.
d. Teori dan hukum ilmiah. Hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah ialah untuk sampai kepada hukum ilmiah. [36]
Statistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang cara mendapatkan data, menganalisis dan menyajikan data serta mendapatkan suatu kesimpulan lalu membuat perkiraan dan menyusun ramalan secara ilmiah.[37] Statistika sangat berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam penelitian.
Namun bukan berarti cara berfikir induktif yang terdapat dalam statistika tidak mendapat kritik. Kritik-kritik terhadap  logika induktif berpangkal kepada pandangan kaum induktivis yang menyatakan bahwa ilmu bertolak dari observasi dan observasi memberikan dasar yang kukuh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi.[38]
Keterangan-keterangan tunggal yang dihasilkan oleh observasi nyatanya tidak memiliki justifikasi untuk dijadikan dasar untuk menjadi sebuah keterangan universal yang membentuk pengetahuan ilmiah. Hal ini dikarenakan keterangan-keterangan tunggal tersebut tidak memiliki ukuran yang jelas seperti berapa kali harus dilakukan observasi atau dalam variasi apa observasi itu harus dilakukan sehingga dapat menjadi keterangan universal yang dapat mewakili variabel yang tak terobservasi.[39]
E. Klasifikasi Ilmu
Klasifikasi ilmu  terkait erat dengan apa yang dimaksudkan oleh para peneliti. Ada beberapa peneliti yang hanya menaruh minat hanya pada penelitian ilmiah murni dan tidak mempunyai tujuan lain daripada menambah atau mendalami pengetahuan. Namun ada beberapa peneliti yang mengadakan penelitian dengan tujuan eksplisit menemukan penemuan-penemuan baru. Dari sini kemudian muncul klasifikasi ilmu menjadi ilmu-ilmu teoritis dan dan praktis.[40]
Pembedaan antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan praktis sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Misalnya filsuf Aristoteles membagi kumpulan pengetahuan rasional menjadi tiga kelompok: pengetahuan teoretis (misalnya fisika), pengetahuan praktis (misalnya etika), dan pengetahuan produktif (misalnya retorika). Pembagian selanjutnya sebagai pelengkap pembagian menurut ragam ialah pembagian ilmu menurut jenisnya.[41]
Dalam perkembangan keilmuan dewasa ini, perbedaan tersebut sudah tidak begitu tajam. Hal ini dikarenakan batas-batas antara ilmu teoritis dan praktis sudah tidak bisa dibedakan dengan jelas. Ilmu teoritis ternyata juga memerlukan eksperimen untuk tujuan langsung sehingga ada sisi-sisi praktis di dalamnya, begitu juga ilmu praktis begitu erat kaitannya dengan teori.[42]
Walaupun hubungan antara ilmu teoritis dan praktis begitu kuat, namun pembedaan terhadap keduanya tidak bisa dihilangkan. Ilmu teoritis atau murni merupakan dasar dari ilmu praktis atau terapan.[43]
Ilmu teoritis terdiri dari sebuah sistem pernyataan, dimana beberapa ilmu teoritis ini disatukan dalam sebuah konsep dan dinyatakan dalam sebuah teori. Makin tinggi tingkat keumuman suatu konsep maka makin “teoritis” konsep tersebut. Makin teoritis suatu konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala-gejala fisik yang tampak nyata.
Kegunaan praktis dari sebuah konsep yang bersifat teoritis baru dapat dikembangkan sekiranya konsep yang bersifat mendasar tersebut diterapkan pada masalah-masalah yang bersifat praktis, sehingga kita sering mendengar konsep dasar dan konsep terapan yang diwujudkan dalam bentuk ilmu dasar/murni dan ilmu terapan serta penelitian dasar dan penelitian terapan.
F. Struktur Ilmu
Struktur ilmu adalah kesalingketerkaitan antara sekumpulan pengetahuan yang terdiri dari komponen-komponen agar dapat menjadi dasar teoritis atau memberikan penjelasan.
Setidaknya pengetahuan ilmiah mencakup lima kelompok unsur :
i. Jenis-jenis sasaran atau obyek.
Obyek terdiri dari obyek material dan obyek formal dikenal dengan istilah obyek sebenarnya (proper obyek).
ii. Bentuk-bentuk pernyataan.
Obyek sebenarnya di atas dituangkan dalam pernyataan-pernyataan yang mempunyai empat bentuk yaitu :
- Deskripsi yaitu dengan menjelaskan bentuk, sususan, peranan, dan hal-hal terperinci dari obyek.
- Preskrispi dengan memberikan petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan dalam hubungannya dengan obyek sederhana itu.
- Eksposisi Pola dengan memaparkan pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses dari obyek yang ditelaah.
-Rekonstruksi Historis dengan merangkum pernyataan-pernyataan yang berusaha menggambarkan atau menceritakan dengan penjelasan atau alasan yang diperlukan peryumbuhan sesuatu hal pada masa lampau yang jauh baik secara alamiah atau karena campur tangan manusia.
iii. Ragam Proposisi yang terbagi menjadi tiga :
- Asas Ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengandung kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati.
- Kaidah Ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengungkapkan keajegan atau hubungan teertib yang dapat diperiksa kebenarannya di antara fenomena sehingga umumnya berlaku pula untuk berbagai fenomena yang sejenis.
- Teori Ilmiah adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis untuk member penjelasan mengenai sejumlah fenomena.
iv. Ciri Pokok Ilmu Pengetahuan adalah :
- Sistematisasi yaitu bahwa setiap pengetahuan ilmiah harus mengandung saling pertalian yang sistematik dari fakta-fakta.
- Keumuman (generality) yaitu menunjuk pada kualitas pengetahuan ilmiah untuk merangkum fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep-konsep yang paling umum dalam pembahasan sasarannya.
- Rasionalitas berarti bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika.
- Verifiabilitas berarti bahwa pengetahuan ilmiah harus dapat diperiksa kebenarannya, diselidiki kembali, atau diuji ulang oleh setiap ilmuan lainnya.
- Objektivitas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang telah diuji secara obyektif oleh para ilmuan akan diterima secara umum menjadi kesepakatan pendapat rasional.[44]
G. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita menyimpulkan beberapa poin dibawah ini :
1. Ilmu sebagai produk adalah ilmu sebagai pengetahuan yang sistematis sebagai hasil dari aktivitas proses ilmiah dengan mempergunakan metodologi ilmiah sebagai prosedur untuk mendapatkan produk keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
2.  Sarana berfikir ilmiah yang terangkum dalam bahasa, matematika, logika, dan statistika sejatinya hanya sebuah jalan atau metode untuk mengaktualisasikan ilmu pengetahuan dalam realita sehingga dapat memberikan sebuah kemanfaatan yang begitu besar bagi kemanusiaan. Meskipun ada beberapa kritik terhadap penalaran induktif namun setidaknya ada segi positif yang bisa diambil melalui generalisasi minimal efesiensi dan efektivitas.
3. Diskursus pengkotakan antara ilmu murni dan terapan dewasa ini sudah tidak begitu relevan karena masing-masing antara ilmu dan terapan sebuah mulai melakukan integrasi sehingga batasan antar ilmu murni dan terapan menjadi abu-abu.


Daftar Pustaka
Abdullah, Abdul Rahman Haji. Wacana Falsafah Ilmu Analisis Konsep-Konsep Asas dan Falsafah Pendidikan Negara. Kuala Lumpur : Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd, 2005.
Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.
Asmadi. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011.
Budiharto. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
Chalmers, A.F. Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu ? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu Serta Metodenya. Jakarta : Hasta Mitra, 1983.
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1999.
Julainid (al), Muhammad Sayyid. Falsafah al-Tanwi>r bain al-Mashru>‘ al-Isla>miy wal Mashru>‘ al-Taghri>biy. Kairo : Da>r al-Quba>’ li al-T{aba>‘ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 1999.
Melsen, A.G.M. Val. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Jakarta : Gramedia, 1992.
Parera, J.D. Teori Semantik. Jakarta : Erlangga, 2004.
Peursen, Beerling, Kwee, Mooij var. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2003.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Susano, A. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta : PT. Bumiaksara, 2011.
Ugm, Tim Dosen Filsafat Ilmu. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty Yogjakarta, 2007.
Qans}uwah, S{ala>h. Falsafat al-‘Ilm. Kairo : Maktabah al-Usrah, 2003.

[1] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1999), 125.
[2] Ibid, 127-128.
[3] Ibid, 128.
[4] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), 68.
[5] Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu Ugm, Filsafat Ilmu (Yogyakarta : Liberty Yogjakarta, 2007), 90.
[6] Abdul Rahman Haji Abdullah, Wacana Falsafah Ilmu Analisis Konsep-Konsep Asas dan Falsafah Pendidikan Negara ( Kuala Lumpur : Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd, 2005), 19.
[7] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995), 5. Adib, Filsafat Ilmu… , 69-74.
[8] Muhammad Sayyid al-Julainid, Falsafah al-Tanwi>r bain al-Mashru>‘ al-Isla>miy wal Mashru>‘ al-Taghri>biy ( Kairo : Da>r al-Quba>’ li al-T{aba>‘ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 1999), 33-34.
[9] Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 91.
[10] Adib, Filsafat Ilmu…, 69.
[11] Budiharto, Metodologi Penelitian Kesehatan (Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006), 3.
[12] Adib, Filsafat Ilmu…, 69.
[13] Jujun S. Suriasumantri yang dikutip oleh Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 91.
[14] Asmadi, Konsep Dasar Keperawatan ( Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005), 92.
[15] A. Susano, Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis Epistemologis, dan Aksiologis ( Jakarta : PT. Bumiaksara, 2011), 78-79.
[16] Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 22.
[17] Ibid, 98.
[18] Jujun S. Suriasumantri dalam Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2011), 183.
[19] Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 184.
[20] Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 226.
[21] J.D. Parera, Teori Semantik ( Jakarta : Erlangga, 2004), 187.
[22] Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 100.
[23] Ibid, 101-102.
[24] Parera, Teori Semantik, 187.
[25] Morris Kline, “Matematika” dalam Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 173. Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 107.
[26] Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 153.
[27] Beerling, Kwee, Mooij var Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu ( Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2003), 23-24.
[28] A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita (Jakarta : Gramedia, 1992), 42-44.
[29] Howard F. Fehr, “Komunikasi Pemikiran Keilmuan” dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001), 211.
[30] Jujun S. Suriasumantri dalam Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 188. Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 107.
[31] S{ala>h Qans}uwah, Falsafat al-‘Ilm ( Kairo : Maktabah al-Usrah, 2003), 209.
[32] Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 22. Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 108.
[33] Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 116 Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 108..
[34] Jujun, Ilmu Dalam Perspektif … , 20.
[35] Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 152.
[36] Tim Dosen Ugm, Filsafat Ilmu, 116-118.
[37] Ibid, 199.
[38] A.F. Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu ? Suatu Penilaian Tentang Watak dan Status Ilmu Serta Metodenya ( Jakarta : Hasta Mitra, 1983), 13.
[39] Ibid, 1-20.
[40] Melsen, Ilmu Pengetahuan…,  50-51.
[41] Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, 166.
[42] Melsen, Ilmu Pengetahuan…, 49.
[43] Ibid, 52-54.
[44] Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, 139-150.

No comments:

Post a Comment

tinggalkan komentar ^^

Kata Ganti ضمير

 Kata Ganti  ضمير جَمْعٌ ‏مُثَنَّى ‏مُفْرَدٌ ضمير هُمْ هُمَا هُوَ ...